Rabu, 30 Maret 2011

Perjalanan Seks Seorang Guru

Cerita dewasa,Rosa telah menikah dengan pria bernama Suhendra yang pekerjaannya adalah teknisi di pengeboran minyak lepas pantai milik perusahaan asing yang hanya bisa pulang 5-6 bulan sekali.

Rosa bertekad memulai profesinya sebagai High Class Call Girl saat ia tahu melihat bukti bahwa suaminya main belakang, selama bekerja di lepas pantai Suhendra suka membawa gadis-gadis nakal. Hal ini ia ketahui dari teman suaminya yang mempunyai dendam terhadapa suaminya, teman suaminya itu menunjukan beberapa foto hasil jepretannya sendiri yang berisikan foto suaminya sedang memluk dan mencium mesra gadis-gadis nakal.

Rosa memulai kariernya di bidang pelacuran kelas tinggi dengan memasang sebuah iklan di koran, begini bunyi iklannya “Massage Maria, cantik dan berpengalaman menerima panggilan hub. 0812160700X “, dengan nama samaran Maria maka dimulailah petualangan terlarang Bu guru kita ini.
SMS mulai mengalir ke handphone Rosa yang berisikan panggilan panggilan tapi ada juga SMS yang berisikan kalimat-kalimat porno, Rosa tidak menanggapi semua SMS itu karena hal itu akan membuang waktu saja begitu juga dengan percakapan dengan calon-calon kliennya semua gagal mencapai kata sepakat. Karena harga yang ditetapkan oleh Rosa sangat tinggi yaitu 1,5 juta sekali datang, tentu saja jarang yang berani memboking Rosa. Sampai suatu saat ada panggilan HP yang masuk saat ia mengajar di kelasnya.

“Permisi anak-anak ibu mau terima telpon dulu jangan ramai ya!”kemudian Rosa berjalan keluar kelas dan menerima panggilan itu.
“Hallo Maria? ” terdengar suara berat seorang lelaki0
“Ya dengan siapa Pak? ”
“Berapa tarif kamu semalam? ”
“1,5 juta bayar di muka, tidak kurang dari itu ”
“Ok done deal, kita ketemu di Kafe Bon Ami, Darmo Selatan jam 18.30 nanti malam sampai disana langsung miss call aku ya bye ..tut tut tut”

Dalam hati Rosa merasa berdebar dan aneh karena ini adalah pertama kalinya ia akan mendapatkan panggilan serius dan anehnya orang tersebut tidak menawar harga yang ia ajukan, Rosa termenung memikirkan telepon yang baru saja ia terima sampai seorang muridnya menegur “Bu, Ibu sakit ya? ” tanya seorang muridnya. “Oh nggak apa-apa kok, ayo masuk lagi” sambil memegang pundak muridnya.

Setelah selesai mengajar Rosa segera pulang dan mempersiapkan diri, ia mandi dan berdandan secantik mungkin tapi tidak menor, dengan mengenakan gaun malam warna hitam yang anggun, Rosa berangkat ke Bon Ami menggunakan taksi. Rasa berdebar semakin menjadi saat ia memasuki kafe dan dengan tangan sedikit gemetar ia memanggil no. HP lelaki yang tadi siang menelponnya segera saja terdengar bunyi handphone di pojok ruangan yang rupanya sengaja di taruh di atas meja oleh pemiliknya.
Mata Rosa memandang ke arah sumber bunyi tersebut dan melihat lelaki berumur 45 tahun keturunan cina dengan pakaian necis dan berkacamata minus yang melambaikan tangan seolah olah sudah mengenal dirinya.

“Hi Maria, silahkan duduk disini ”. Ujar lelaki itu sambil berdiri menjabat tangan Maria yang tak lain adalah nama samaran Rosa.
“Ok kita makan dulu atau langsung pergi nih? ” tanya lelaki itu.
“Kita bisa langsung pergi setelah pembayaran dilakukan ” ujar Rosa ketus
“Wow santai saja non jangan takut ini aku bayar sekarang”. Sebuah amplop coklat disodorkan dan langsung dibuka dan dihitung oleh Rosa
“Ok 1,5 juta kita berangkat, omong omong nama bapak siapa ” tanya Rosa
“Teman-teman memanggil aku A Cun, yuk berangkat ”.

A Cun menggandeng tangan Rosa dengan mesra seperti istrinya sendiri.
Dengan menggunakan mercy new eyes, A Cun membawa Rosa meninggalkan kafe dengan santai tapi pasti mobil dibawa menuju ke arah daerah perumahan elit di daerah Dharmahusada. Ketika sampai di depan sebuah rumah mewah dengan pagar tinggi A Cun membunyikan klaksonnya, pagar besi itu terbuka secara otomatis meskipun tidak tampak orang di halaman rumah mewah itu, setelah mobil masuk sampai di teras rumah seseorang dengan seragam batik berlari kecil menghampiri mobil.

“Selamat datang Koh A Cun “sambil membukakan pintu mobil.
“Yang lainnya sudah pada kumpul toh, Yok? ” tanya Koh A Cun pada lelaki berseragam itu
“Sudah Pak, silahkan Pak ” kata petugas yang bernama Yoyok ini .
Mobil A Cun segera dibawa untuk di parkir oleh yoyok yang rupanya bertugas sebagai valet service. Acun dan Rosa langsung masuk ke dalam rumah mewah itu
“Ini rumah Koh A Cun ” tanya Rosa kagum melihat ruang tamu yang besar dan dipenuhi barang mewah
“Oh bukan, ini rumah perkumpulan semacam klub bagi kami untuk melepas kepenatan” ucap Koh Acun seraya membuka pintu ruang tengah yang di dalamnya berisi 3 orang lelaki dan 3 perempuan.Di ruangan itu tersedia 5 kasur king size, 2 meja biliard, 3 set sofa mewah dan sebuah mini bar yang tertata apik serasi dengan ruang yang relatif besar itu, dari suasana ruangan sudah dapat diperkirakan bahwa ruangan ini sering di pakai sebagai ajang maksiat.

“Hoi Cun, lama sekali kamu, dapet barang baru ya?” tanya seorang lelaki cina berumur 56 tahun yang di panggil Koh A Liong.
“Ah nggak enak ah ngomong gitu di depan orang ” elak A Cun
“Koh A Cun, mending kamu kasih Mbak ini buat aku saja, kamu pake saja salah satu SPG yang aku bawa” ucap lelaki berbadan gemuk besar dan berkulit sawo matang yang dipanggil dengan panggilan Pak Angkoro.
A Cun mengamati SPG yang ditawarkan padanya, diantara tiga SPG itu ada satu yang paling menarik hatinya yaitu Lyvia Go. SPG berumur 21 tahun berdarah cina dengan tinggi 168 cm dan berat 48 kg berwajah mirip Ineke, dengan penampilannya yang mengenakan rok super mini dengan atasan kemeja ketat nan tipis membuat A Cun tak mampu menolak tawaran Pak Angkoro.
“Ok deh, Pak Angkoro boleh ambil Maria, saya pinjam Lyvia ” sahut acun sambil langsung menarik pinggang Lyvia dan mereka berdua melakukan deep kissing yang sangat panas sampai terdengar lenguhan lenguhan nafas mereka.

Lyvia yang diciumi dengan ganas segera membalas ciuman itu sambil membuka kancing kemejanya yang seakan tak muat menampung payudaranya yang montok. Dengan rakus Koh A Cun memelorotkan BH Lyvia dan menghisap puting berwarna coklat muda itu, sambil bercumbu tangan Koh Acun bergerak melingkar pinggang Lyvia dan melepas kait rok mini dan meloloskan rok itu turun sehingga kini Lyvia Go hanya mengenakan BH yang sudah tidak menutupi payudaranya dan sebuah celana dalam berwana putih berenda tipis yang sangat seksi sekali melekat di tubuhnya yang putih bak mutiara. Dengan sekali angkat tubuh Lyvia Go dibawa Koh ACun menuju ranjang terdekat, lalu menelentangkannya sambil meloloskan celana dalam seksi itu dari tempatnya sehingga tampaklah kemaluan Lyvia yang sudah dicukur bersih, tanpa membuang waktu A Cun segera menjilat dan menusuk nusukkan lidahnya ke dalam vagina Lyvia yang diikuti dengan erangan nikmat dari Lyvia.

“Ahh, aduh enak Koh, dasyat aargh ”
“Enak ya Go? Kamu sudah berapa kali ngeseks selama jadi SPG ” tanya A Cun sambil mengocok vagina Lyvia dengan dua jari sambil terkadang menggosok kelentit mungil itu dengan jempolnya.
“Ini yang ke tu..juh aah hi hi hi aduh geli Koh ”
“Yang pertama ama siapa ” selidik A Cun mencari cari daerah g-spot dengan ujung jarinya
“Yang pertamaa, aduh yah yah aauh disitu Koh enak, yang pertama sama Pak Angkoro di WC showroom aah”
Untuk mengakhiri pemanasan ini maka A Cun menempelkan lidahnya di kelentit Lyvia, kemudian menggeleng-gelengkan dan memutar-mutar kepalanya dengan lidah tetap menempel di kelentit. Menerima rangsangan dasyat itu tubuh Lyvia melengkung bagai busur panah yang siap melesatkan anak panahnya.
“Aduh Koh A Cun, aargh masukin sekarang Koh jangan siksa aku lebih lama lagi hm? “.

Melihat Lyvia sudah terangsang berat maka Koh A Cun segera menghentikan permainan oralnya dan melepas bajunya sendiri dengan cepat, Lyvia yang melihat Koh A Cun melepas bajunya kagum melihat badan Koh Acun yang berotot, dadanya yang bidang dan perutnya yang terbagi 8 kotak sangat seksi di mata Lyvia yang biasanya melayani Pak Angkoro yang gendut. Semakin bernafsu untuk segera bersetubuh maka Lyvia Go membantu melepas celana Koh A Cun dan betapa kagetnya Lyvia Go ketika celana itu merosot langsung nongol benda sepanjang 16.5 cm (wah ternyata Koh A Cun tidak pakai celana dalam loh, tapi dengan tidak memakai celana dalam juga sangat baik bagi kesuburan pria kata Pak dokter).

Dengan posisi kaki yang di buka lebar lebar, Lyvia menanti Koh Acun sambil tangan kanannya menggosok gosok klitorisnya sendiri, Koh Acun mengambil posisi di tengah tengah kaki Lyvia yang terbuka lebar dan mengarahkan penisnya di muka pintu gerbang kewanitaan Lyvia.
“Aku masukin ya Lyv?”
“Sini kubantu Koh ” Lyvia memegang penis A Cun dan mengarahkannya ke liang senggamanya
“Seret banget ya Lyv, jadi susah masuk nih”
“Koh jangan bercanda melulu ah, kapan masuknya?”
“Ya udah nih rasain Lyv”
“Aauh aah aah pelan dikit Koh ”
Akhirnya pelan tapi selamat, penis Koh A Cun amblas ke dalam vagina Lyvia dan permainan kuda kudaan khusus dewasapun dimulai, Koh A Cun memaju mundurkan pantatnya dengan tempo sedang sambil memegang kedua betis Lyvia sebagai tumpuan tangannya.

Beralih ke ibu guru kita yaitu Rosa Maria yang cuma bengong melihat permainan permainan liar di sekelilingnya.
“Wah suasananya panas ya? ” Pak Angkoro menegur Rosa Maria yang bengong
“Ah nggak juga Pak, kan ada AC” balas Rosa risih
“Nggak panas gimana, coba kamu lihat orang orang itu pada telanjang ngapain coba?”
“Eeng eeng gimana ya Pak ”
“Eng eng eng apa, ayo lepas bajumu, kamukan sudah di bayar toh? ”
Rosa merasa harga dirinya diinjak-injak, di dalam hati Rosa Maria berkata “Aku adalah seorang guru yang dihormati dan disegani oleh anak didik dan rekan sekerjaku kenapa demi dendam pada suami aku harus menjerumuskan diriku ke dalam lembah nista tapi sudah terlambat”, air mata mulai menetes di pipi Rosa.

“Wah, kok malah nangis iki piye? Waduh!!” Pak Angkoro mengelus-elus perutnya yang besar karena bingung.
“Nggak Pak, ayo kita mulai aja permainan ini ” Rosa mengusap air matanya.
“Ya gitu dong, itu baru semangat profesional jangan nangis lagi ya ”
Rosa membuka gaun malamnya dengan pedih dan rasa hampa, demikian juga Pak Angkoro beliau membuka seluruh pakaiannya memperlihatkan tubuhnya yang gemuk dan hitam.

“Sini Ros, bapak akan membuat kamu melayang layang ” pangil Pak Angkoro
Rosa yang masih malu dan canggung menutup tubuhnya yang bugil dengan tangannya sedapat mungkin sambil melangkah ke arah Pak Angkoro
“Wah kok malu malu gitu, jangan kuatir Ros bapak nggak akan kasar kasar sama kamu “, Pak Angkoro memandang tubuh Rosa dari atas ke bawah. Jakunnya naik turun memandang tubuh Rosa yang menggiurkan, kulitnya yang kuning langsat bagai kulit putri kraton meskipun tidak seputih Lyvia tapi pancaran erotik dari mata Rosa bagai sinar pancasona pusaka tanah jawa. Dan cara gerak Rosa Maria sungguh membangkitkan gairah, keayuan khas gadis jawa terpancar dari setiap lekuk tubuhnya dan terutama payudaranya yang berwarna kuning gading sungguh mengundang birahi lelaki manapun yang melihatnya.

Dengan lembut Pak Angkoro meletakan kedua telapak tangannya di atas payudara Rosa dan mulai memijat lembut sambil perlahan ia melekatkan bibirnya ke bibir Rosa yang sensual di lumatnya bibir Rosa, semakin lama semakin panas sampai kedua tubuh itu seolah menjadi satu, Pak Angkoro melingkarkan tangannya ke pinggang Rosa dan menariknya sampai lekat pada tubuhnya dan mencumbu Rosa dengan penuh nafsu. Dihisap dan dimasukannya lidahnya kedalam relung relung mulut Rosa sehingga mau tak mau Rosa membalas pagutan-pagutan liar itu. Hasrat kewanitan Rosa benar-benar dibangkitkan oleh Pak Angkoro yang berlaku seperti kuda jantan dan mendominasi seriap permainan ini. Rosa mulai merasakan hawa panas naik dari dadanya ke ubun-ubun yang membuat Rosa semakin tak berdaya melawan hawa maksiat yang begitu kental dalam ruangan ini sehingga akhirnya Rosapun terlarut dalam hawa maksiat itu.

“Ros aku minta dioral dong ” sambil menyodorkan penis hitamnya yang berdiameter 5 cm dengan panjang 14 cm.
“Nggak ah Pak, jijik saya! ih! ”
“Wah kamu kudu profesional Ros, kalau kerja jangan setengah-setengah gitu dong, gini aja kamu tak oral kalau sampai kamu orgasme berarti kamu kudu ngoral aku yah? ”. Belum sempat Rosa menjawab Pak Angkoro telah menyelusupkan kepala diselangkangan Rosa dan mulai melancarkan segala jurus simpanannya mulai dari jilat, tusuk sampai jurus blender yang memnyapu rata seluruh dinding permukaan vagina Rosa sehingga dalam waktu 7 menit Rosa sudah di buat kejang-kejang.
“Oooh Pak oouh oh pa..ak” Rosa meregangkan ototnya sampai batas maksimal.
“Tuh kamu udah orgasme, nggak bisa bohong sekarang giliranmu” ucap Pak Angkoro senang.

Pak Angkoro menarik kepala Rosa dengan tangan kirinya sementara tangan kanannya memegang penisnya sendiri sambil mengocok ringan, setelah mulut Rosa dalam jangkauan tembak Pak Angkoro segera menjejalkan penisnya ke dalam mulut Rosa. “Ayo dong Rosa” Pak Angkoro menyuapkan penisnya seperti menyuapkan makanan pada anak kecil, setelah penisnya berada dalam mulut Rosa maka dengan menjambak rambut Rosa Pak Angkoro memaju mundurkan kepala Rosa.

“Ehm ehm Pak Angko.. ehm ehm” Rosa berusaha berbicara tapi malah tersenggal senggal
“Udah diam aja deh Ros jangan banyak bicara emut!”. Setelah lima menit berjalan Rosa akhirnya secara mandiri mengulum ujung penis Pak Angkoro, sementara tangannya mengocok dengan kasar pangkal penis Pak Angkoro.
“Yes gitu Ros, wah kamu lebih hebat dari istriku loh, mau gak kamu jadi gundikku?” Pak Angkoro berbicara ngawur karena keenakan dioral Rosa. Merasa jenuh dengan permainan oral akhirnya Rosa meminta untuk bercinta.
“Udahan dong Pak, kita ngesks yang bener aja ya?” tanya Rosa dengan halus. “Ok, kamu yang minta loh”.

Pak Angkoro menarik Rosa yang tadinya mengoral dia dalam posisi jongkok menuju meja biliard dan menyuruh Rosa menumpukan kedua tangannya menghadap meja bilirad sementara Pak Angkoro yang berada di belakang Rosa mengatur posisi sodokan perdananya.
“Ros nungging dikit dong, ya gitu sip!” Pak Angkoro mengelus pantat Rosa yang bahenol kemudian mengarahkan senjatanya ke vagina Rosa.
“Aaouh Pak Angkoro, pelan Pak sakit penisnya bapak sih kegedean ” ucap Rosa setengah meledek.
“Wah kamu itu muji apa menghina Ros? mungkin vaginamu yang kekecilan Ros” Pak Angkoro membalas ejekan rosa dengan menarik pinggul Rosa ke belakang secara cepat maka amblaslah seluruh penis Pak Angkoro.
“Auuw gede banget, aauw aah ” Rosa mulai menggoyang pinggulnya berusaha menyeimbangi goyangan Pak Angkoro.

Pak Angkoro membenamkan penisnya dalam-dalam dengan menarik pinggul Rosa kebelakang, dengan penis masih tertancap di vagina Rosa kemudian Pak Angkoro memutar pinggulnya membentuk lingkaran sehingga penis yang didalam vagina Rosa menggencet dan menggesek setiap syaraf syaraf nikmat di dinding vagina.
“Aauh, Rosa keluar ahh” Rosa mengalami orgasme yang menyebabkan setiap otot di tubuh Rosa mengencang sehingga tubuhnya kelojotan tidak terkendali.
“Loh Ros, kok sudah KO, belum 10 menit kok udah orgasme wah ini kalau cowok namanya edi, ejakulasi dini kalau kamu berarti menderita odi orgasme dini, ayo terusin sampai aku keluar juga ”.

Pak Angkoro mengganti posisi bersenggama dengan mengangkat tubuh Rosa dan menidurkannya di meja biliard. Kemudian kaki rosa dibentangkan oleh Pak angkoro lebar-lebar dan dengan kekuatan penuh penis besar itu menerjang mendobrak pintu kewanitaan Rosa, sampai-sampai klitorisnya ikut tertarik masuk, Rosa yang masih dalam keadaan orgasme makin menggila menerima sodokan itu sehingga secara refleks rosa mencakar bahu Pak Angkoro.

“Oouchh Rosa kamu ini apa-apaan sih, kok main cakar-cakaran segala?”
“Oouh aash sorry, abis rosa nggak tahan sih ama sodokannya Mas yang begitu perkasa” bujuk rosa agar Pak angkoro tidak marah.
“Jangan cakar lagi ya, kalo tidak rasain ini” Pak Angkoro menggigit puting Rosa dengan lembut tapi sedikit menyakitkan.
“Aauw nakal deh” ucap rosa sambil menggoyangkan pinggulnya sendiri agar penis Pak Angkoro tetap menggesek dinding vaginanya.

Dalam waktu singkat Rosa yang mula-mula seorang guru telah berevolusi menjadi pelacur kelas tinggi yang benar benar profesional baik dari kebinalan maupun ucapannya, semua sudah berubah Rosa kini benar benar seorang pelacur sejati.

Selengkapnya - Perjalanan Seks Seorang Guru

Selasa, 29 Maret 2011

Kisah Cinta Terlarang

Cerita Dewasa.Aku Dina. Pertama kali aku mengenal cinta, hatiku sangat berbunga-bunga. Hanya sayangnya cinta pertamaku jatuh tidak pada orang yang tepat. Dia seorang pria yang sudah berkeluarga. Jadilah kami backstreet. Aku kenal dia, yang kupanggil MAS, ketika aku datang ke ultah temenku. Dia saat itu enjadi event organizer acara ultah tersebut. Sejak awal melihat dia aku sudah tertarik. Dia ganteng dan badannya atletis, aku diperkenalkan ma dia oleh temanku yang ultah. “Din, ini MAS, dia yang nyelenggaraan pesta ini, asik kan pestanya. Kamu nemenin MAS ngobrol ya”. Temanku itu tau kalo aku suka dengan pria yang umurnya jauh lebih tua dari aku. Kami jadi asik ngobrol ngalor ngidul. Dia sangat humoris sehingga aku selalu terpingkal-pingkal
mendengar guyonannya. Makin lama guyonannya makin mengarah yang vulgar, aku sih ok aja. Ketika aara makan, dia menemani aku menikmati hidangan yang tersedia. Ketika acar dansa, dia mengajak aku turun, ketika itu lagunya slow. Aku larut dalam dekapannya yang sangat mesra. Dia berbisik: “Din, kamu cantik sekali, kamu yang paling cantik dari semua prempuan yang dateng ke pesta ini. Aku suka kamu Din”. “Mas kan dah punya keluarga, masak sih suka ma abg kaya aku”. “Justru karena kamu masih abg, kecantikan kamu masih sangat alami, bukan polesan make up yang tebal”.
Memang sih dandananku biasa saja, tanpa make up yang tebal. Perempuan mana sih yang gak suka dipuji lelaki yang kebetulan dikaguminya. Ketika pulang dia mengantarkan aku pulang, sebelum aku turun dari mobil, pipiku dikecupnya, “Kapan2 kita ketemuan lagi ya Din, ni nomer hpku”. Kami bertukaran no hp.

Sejak pertemuan pertama itu, kami sering jumpa di mal, di bioskop atau ditempat fitnes.

Karena dia tau aku suka fitnes, makanya diapun mendaftar menjadi member ditempat aku biasa fitnes. Karena sering ketemu, hubungan kami makin lama makin akrab. Dia adalah lelaki pertama yang mencium bibirku. Itu kejadiannya ketika kami sedang dibioskop. Karena bukan weekend, jumlah penontonnya sedikit, sehingga dia milih tempat duduk yang jauh dari penonton lain. Dia berbisik: “Din, aku sayang sekali ma kamu. Kamu?’ “Aku juga sayang ma Mas, sayangnya ma dah keluarga ya”. “Kita jalani aja dulu Din, gak apa kan kalo backstreet kaya gini. Pokoknya aku akan berusaha untuk ketemu kamu sesering mungkin, sayang”. Dia meluncurkan rayuan mutnya, sehingga
aku makin berbung-bunga. “Din..”, panggilnya lagi. aku menoleh karahnya. Karena duduk kami berdempetan, dia langusng merangkul pundaknya dan mendekatkan bibirnya ke bibirku. aku memejamkan mataku, terasa lembut sekali bibirnya menyentuh bibirku, kemudian terasa bibirnya mulai mengisap bibirku. aku pasrah ketika dia cukup lama mengecup bibirku. “Mas”, desahku ketika dia melepas bibirnya, seakan aku gak rela dia melepaskan bibirku. Diapun mengecup bibirku lagi, kali ini lebih lama lagi. Demikianlah sepanjang film itu kami tidak menikmati filmnya tetapi aku menikmati bagaimana bibirnya mengulum-ngulu bibirku. “Mas, aku sayang sekali ma mas, aku mau jadi pacar mas”.

Sejak kejadian dibioskop itu, kami menjadi rutin berciuman kalo ketemu, paling tidak kami melakukannya sebentar di mobil sebelum mobil jalan atau sebelum aku turun didepan rumahku. Temenku mengingatkan aku agar jangan terlalu larut dalam berhubungan dengan Mas, karena dia dah berkeluarga. “Nanti kamu yang nyesel lo kalo dia harus mutusin hubungan kamu dengan dia”. Tapi aku tidak mengindahkan himbauan temanku. Aku seakan buta tertutup cinta yang makin lama makin berkobar-kobar.

Sampai suatu weekend, dia mengajakku ke satu vila diluar kota, katanya dia
mau survei tempat itu karena akan diadakan perhelatan disana. “Temenin aku yuk, mumpung bisa keluar kota ma kamu. Mau ya sayang”. Karena aku dah lama pengen berdua dia seharian, aku turuti saja ajakannya. Ke ortu, aku pamit mo jalan ma temen2 ke vila mereka. Aku seneng sekali ketika dah duduk disebelahnya dalam mobilnya. Mobilnya meluncur arah luar kota. Saat itu aku mengenakan celana ketat dari kain yang cukup tipis berwarna putih sehingga bentuk bokongku yang bulat padat begitu kentara, dan bahkan saking ketatnya CDku sampai kelihatan sekali berbentuk segitiga. Atasannya aku mengenakan baju kaos putih ketat dan polos sehingga bentuk toketku yang membulat terlihat jelas, kaosku yang cukup tipis membuat braku yang berwarna putih terpampang jelas sekali. “Din, kamu seksi sekali deh pake pakean kaya gitu”. “Mas suka kan”. “Suka banget, palagi kalo amu gak pake baju Din”. “Ih mas, mulai deh genit, aku turun disini aja deh”, aku pura2 merajuk, padahal dalam hati seneng sekali mendengar pujiannya. “Ya udah turun aja he he”, tertawanya berderai ketika dia mengatakan hal itu, tetpi mobil tetap melaju kencang. “Katanya disuruh turun, kok gak minggir”. “Loncat aja kalo berani”. “mas, iih”, kataku sambil mencubit pinggangnya, mesra. Dia menggeliat kegelian, “Jangan dikitikin dong, nanti nabrak lo”. “abis mas sih
mulai duluan”. Sepanjang jalan kami bercanda rian, sesekali tangannya gantian menggelitiki pinggangku, sehingga aku menggelinjang. Kadang tangannya mendarat di pahaku dan mengelus2nya sampe kedeket pangkal pahaku. aku menjadi merinding karena rabaannya. Maklum deh dia pria pertama yang melakukan hal ini. “Maas”, aku hanya melenguh ketika pahaku dielus2 begitu. Karena aku tidak menolak, maka dia meneruskan elusannya dipahaku. aku menjadi gelisah, dudukku gak bisa diam, ada rasa geli bercampur nikmat dan aku merasa pengen kencing. “Mas maih jauh ya”.
“Napa Din”. “aku pengen pipis”. “Bentar lagi juga sampe. Itu bukan pengen pipis biasa Din”. “abis apaan?” “Pasti kamu terangsang ya karena aku ngelus2 paha kamu”. “Ih”, kucubit lagi pinggangnya.

Mobilnya sudah masuk ke satu vila. Ada seorang bapak2 yang menyambut di gerbang vila. Dia orang yang ditugaskan pemilik vila untuk menunggui vila itu. Aku keluar dari mobil, ikut dengan dia melihat lokasi. Vilanya tidak terlalu besar tetapi halamannya luas. Dia mulai mengeluarkan catatannya, mengukur sana mengukur sini, mencoret2 di buku catatannya. Kadang dia menanyakan pendapatku tentang satu hal. Aku menjawab setauku saja. “Setelah selesai, dia berkata kepada si bapak, “Pak kami mo menginap di vila ini”. “Iya, yang
punya dah kasi tau bapak, ya silahkan saja pak. sudah saya sediakan makanan secukupnya di lemari es, kalo mo makan ya silahkan dihangatkan dulu. soalnya bapak mo pulang”. Si bapak meninggalkan kami berdua. “Din, kita honimun ya”, katanya sambil tersenyum. aku jadi berdebar2membayangkan apa yang aka dilakukannya padaku. Aku sering mendengar cerita teman2ku ang sudah pernah berhubungan sex dengan cowo2nya, mendengar betapa nikmatnya kalo memek kemasukan kontol. Aku jadi merinding sendiri, aku pengen juga mengalami kenikmatan itu.

Aku menghempaskan pantatku di sofa, dia menyusulku segera dan duduk rapat di sampingku, “Dina sayang” katanya sambil menggenggam erat dan mesra kedua belah tanganku. Selesai berkata begitu dia mendekatkan mukanya ke wajahku, dengan cepat dia mengecup bibirku dengan lembut. Hidung kami bersentuhan lembut. Dia mengulum bibir bawahku, disedot sedikit. Lima detik kemudian, dia melepaskan kecupan bibirnya dari bibirku. Aku saat kukecup tadi memejamkan mata, “Aku pengen melakukan itu ma
kamu, sayang. Kamu bersediakah?”, rayunya lebih lanjut. Dia berusaha mengecup bibirku lagi, namun dengan cepat aku melepaskan tangan kananku dari remasannya, dadanya kutahan dengan lembut. “Mass” bisikku lirih. “Dina sayang, mau ya”, rayunya lagi. “Tapi mass, aku takut Mas”, jawabku. “Takut apa sayang, katakanlah”, bisiknya kembali sambil meraih tanganku. “Aku takut Mas nanti meninggalkan aku”, bisikku. Dia menggenggam kuat kedua tanganku lalu secepat kilat dia mengecup bibirku. “Dina sayangku, aku terus terang tidak bisa menjanjikan apa-apa sama kamu tapi percayalah aku akan membuktikannya kepadamu, aku akan selalu sayang sama kamu”, bujuknya
untuk lebih meyakinkanku. “Tapi Mas” bisikku masih ragu. “Din, percayalah, apa aku perlu bersumpah sayang, kita memang masih baru beberapa bulan kenal sayang, tapi percayalah, yakinlah sayang, kalau Tuhan menghendaki kita pasti selalu bersama sayang”, rayunya lagi. “Lalu kalau aku sampai hamil gimana mass?” ujarku sembari menatapnya.”Aah, jangan khawatir sayang, aku akan bertanggung jawab semuanya kalau kamu sampai hamil, bagaimana sayang?” bisiknya. Rasioku sudah tidak jalan dengan baik, tertutup oleh rayuan mautnya dan rasa ingin merasakan kenikmatan yang makin menggebu.
Tangannya bergerak semakin berani, yang tadinya hanya meremas jemari tangan kini mulai meraba ke atas menelusuri dari pergelangan tangan terus ke lengan sampai ke bahu lalu diremasnya dengan lembut. Dia memandangi toketku dari balik baju kaosku yang ketat, “Mas harus janji dulu sebelum…” aku tak melanjutkan ucapanku. “Sebelum apa sayang, katakanlah”, bisiknya tak sabar. Kini jemari tangan kanannya mulai semakin nekat menggerayangi pinggulku, ketika jemarinya merayap ke belakang diusapnya belahan pantatku lalu diremasnya dengan gemas. “aahh… Mas”, aku merintih pelan. “Mas aah mmas.. aku rela menyerahkan semuanya asal Mas mau bertanggung jawab nantinya”, aku berbisik semakin lemah, saat itu jemari tangan kanannya bergerak semakin menggila, menelusup ke pangkal pahaku, dan mulai
mengelus gundukan bukit memekku. Diusapnya perlahan dari balik celanaku yang amat ketat, dua detik kemudian dia memaksa masuk jemari tangannya di selangkanganku dan bukit memekku itu telah berada dalam genggaman tangannya. Aku menggelinjang kecil, saat jemari tangannya mulai meremas perlahan. Dia mendekatkan mulutnya kembali ke bibirku hendak mencium, namun aku menahan dadanya dengan tangan kananku, “eeehh Mas..berjanjilah dulu Mas”, bisikku di antara desahan nafasnya yang mulai sedikit memburu. “Oooh Dina sayang, aku berjanji untuk bertanggung jawab, aahh aku menginginkan keperawananmu sayang”, ucapnya. Sementara jemari tangannya yang sedang berada di sela-sela selangkangan pahaku itu meremas gundukan memekku lagi. “Ba.. baiklah Mas, aku percaya sama Mas”, bisikku. “Jadi?” tanyanya. “hh. lakukanlah mass, aku milik Mas seutuhnya.. hh..” jawabku. “Benarkah? ooh..Dina sayanggg.” Secepat kilat bibirku kembali dikecup dan dikulumnya, digigit lembut, disedot. Hidung kami bersentuhan lembut. Dengus nafasku terdengar memburu saat dia mengecup dan
mengulum bibirku cukup lama. DIa mempermainkan lidahnya di dalam mulutku, aku mulai berani membalas cumbuannya dengan menggigit lembut dan mengulum lidahnya dengan bibirku. Lidah kami bersentuhan, lalu dia mengecup dan mengulum bibir atas dan bawahku secara bergantian. Terdengar suara kecapan-kecapan kecil saat bibir kami saling mengecup. “aah Dina sayang, kamu pintar sekali, kamu pernah punya pacar yaach?” tanyanya curiga. “Mm aku belum pernah punya pacar Mas, kan Mas yang selama ini ngajari aku ciuman”, sahutku. “Wah kamu belajarnya cepat seklai ya, jangan-jangan kamu sering nonton film porno yaa?” godanya. Aku tersenyum malu, dan
wajahku pun tiba-tiba bersemu merah, aku menundukkan mukaku, malu. “I…iya Mas, beberapa kali”, sahutku terus terang sambil tetap menundukkan muka. “Dina sayang, kamu nggak kecewa khan karena aku benar-benar sangat menginginkan keperawananmu sayang?” tanyanya. “Aku serahkan apa yang bisa aku persembahkan buat Mas, aku ikhlas, lakukanlah Mas kalau Mas benar-benar menginginkannya”, sahutku lirih.

Jemari tangan kanannya yang masih berada di selangkanganku mulai bergerak menekan ke gundukan memekku yang masih perawan, lalu diusap-usap ke atas dan ke bawah dengan gemas. Aku memekik kecil dan mengeluh lirih, kupejamkan mataku rapat-rapat, sementara wajahku nampak sedikit berkeringat. Dia meraih kepalaku dalam pelukannya dengan tangan kiri dan dia mencium rambutku. “Oooh masss”, bisikku lirih. “Enaak sayang diusap-usap begini”, tanyanya. “hh… iiyyaa mass”, bisikku polos. Jemarinya kini bukan cuma mengusap tapi mulai meremas bukit memekku dengan sangat gemas. “sakit Mas aawww” aku memekik kecil dan pinggulku menggelinjang keras. Kedua pahaku yang tadi menjepit pergelangan tangan kanannya kurenggangkan. Dia mengangkat wajah dan daguku kearahnya, sambil merengkuh tubuhku agar lebih merapat ke badannya lalu kembali dia mengecup dan mencumbu bibirku dengan bernafsu.

Puas mengusap-usap bukit memekku, kini jemari tangan kanannya bergerak merayap ke atas, mulai dari pangkal paha terus ke atas menelusuri pinggang sampai ujung jemarinya berada di bagian bawah toketku yang sebelah kiri. Dia mengelus perlahan di situ lalu mulai mendaki perlahan, akhirnya jemari tangannya seketika meremas kuat toketku dengan gemasnya. Seketika itu pula aku melepaskan bibirku dari kuluman bibirnya, “aawww… Mas sakitt, jangan keras-keras dong meremasnya”, protesku. Kini secara bergantian jemari tangannya meremas kedua toketku dengan lebih lembut. Aku
menatapnya dan membiarkan tangannya menjamah dan meremas-remas kedua toketku.

“Auuggghh..” tiba2 dia menjerit lumayan keras dan meloncat berdiri. Aku yang tadinya sedang menikmati remasan pada toketku jadi ikutan kaget. “Eeehh kenapa Mas?” “Aahh anu sayang… kontolku sakit nih”, sahutnya sambil buru-buru membuka celana panjangnya di hadapanku. Aku tak menyangka dia berbuat demikian hanya memandangnya dengan terbelalak kaget. Dia membuka sekalian CDku dan “Tooiiing”, kontolnya yang sudah tegang itu langsung mencuat dan mengacung keluar mengangguk-anggukan kepalanya naik turun . “aawww… Mas jorok”, aku menjerit kecil sambil memalingkan mukaku ke samping dan menutup mukaku dengan tangan. “He…he…” dia terkekeh geli, batang kontolnya sudah kelihatan tegang berat, urat-urat di
permukaan kontolnya sampai menonjol keluar semua. Batang kontolnya bentuknya montok, berurat, dan besar. Sementara aku masih menutup muka tanpa bersuara, dia mengocok kontolnya dengan tangan kanannya, “Uuuaahh…nikmatnya”. “Din sebentar yaa… aku mau cuci kontolku dulu yaa… bau nih soalnya”, katanya sambil ngibrit ke belakang, kontolnya yang sedang “ON” tegang itu jadi terpontang-panting sambil mengangguk-anggukkan kepalanya ke sana ke mari ketika dia berlari. Aku masih terduduk di atas sofa dan begitu melihatnya keluar berlari tanpa pakai celana jadi terkejut lagi melihat kontolnya yang sedang tegang bergerak manggut-manggut naik
turun. “aawww…” teriakku kembali sembari menutup mukaku dengan kedua jemari tanganku. “Iiihh… Din… takut apa sih, kok mukanya ditutup begitu”, tanyanya geli. “Itu Mas, kontol Mas”, sahutku lirih. “Lhoo… katanya sudah sering nonton BF kok masih takut, kamu kan pasti sudah lihat di film itu kalau kontol cowok itu bentuknya gini”, sahutnya geli. “Iya…m..Mas, tapi kontol Mas mm besar sekalii”, sahutku masih sambil menutup muka. “Yaach… ini sih kecil dibanding di film nggak ada apa-apanya, itu khan film barat, kontol mereka jauh lebih gueedhee… kalau kontolku kan ukuran orang Indonesia sayang, ayo sini dong kontolku kamu pegang sayang, ini kan milik kamu juga”, sahutnya nakal. “Iiih… malu aah Mas, jorok.” “Alaa.. malu-malu sih sayang, aku yang telanjang saja nggak malu sama kamu, masa kamu yang masih pakaian lengkap malu, ayo dong sayang kontol Mas dipegang biar kamu bisa merasakan milik kamu sendiri”, sahutnya sembari meraih kedua tanganku yang masih menutupi mukaku. pada mulanya aku menolak sambil memalingkan wajahku ke samping, namun setelah dirayu-rayu akhirnya aku mau juga.

kedua tanganku dibimbingnya ke arah selangkangannya, namun kedua mataku masih kupejamkan rapat. Jemari kedua tanganku mulai menyentuh kepala kontolnya yang sedang ngaceng. Mulanya jemari tanganku hendak kutarik lagi saat menyentuh kontolnya yang ngaceng namun karena dia memegang kedua tanganku dengan kuat, dan memaksanya untuk memegang kontolnya itu, akhirnya aku hanya menurut saja. Pertama kali aku hanya mau memegang dengan kedua jemarinya. “Aah… terus sayang pegang erat dengan kedua tanganmu”, rayunya penuh nafsu. “Iiih… keras sekali Mas”, bisikku sambil tetap memejamkan mata. “Iya sayang, itu tandanya aku sedang ngaceng
sayang, ayo dong digenggam dengan kedua tanganmu, aahh…” dia mengerang nikmat saat tiba-tiba saja aku bukannya menggenggam tapi malah meremas kuat. Aku terpekik kaget, “Iiih sakit mass…” tanyaku. Aku menatapnya gugup. “Ooouhh jangan dilepas sayang, remas seperti tadi lekas sayang oohh…” erangnya lirih. Aku yang semula agak gugup, menjadi mengerti lalu jemari kedua tanganku yang tadi sedikit merenggang kini bergerak dan meremas kontolnya seperti tadi. Dia melenguh nikmat. Aku kini sudah berani menatap kontolnya yang kini sedang kuremas, jemari kedua tanganku itu secara bergantian meremas batang dan kepala kontolnya. Jemari kiri berada di atas kepala kontolnya sedang jemari yang kanan meremas kontolnya. .dia
hanya bisa melenguh panjang pendek. “.sshh…Din… terusss sayang, yaahh… ohh…ssshh”, lenguhnya keenakan. Aku memandangnya sambil tersenyum dan mulai mengusap-usap maju mundur, setelah itu kugenggam dan kuremas seperti semula tetapi kemudian aku mulai memompa dan mengocok kontolnya itu maju mundur. “Aakkkhh… ssshh” dia menggelinjang menahan nikmat. Aku semakin bersemangat melihatnya merasakan kenikmatan, kedua tanganku bergerak makin cepat maju mundur mengocok kontolnya. Dia semakin tak terkendali, “Din… aahhgghh… sshh…awas pejuku mau keluarr” teriaknya keras. aku meloncat berdiri begitu dia mengatakan kalimat itu, aku melepaskan remasan tanganku dan berdiri ke sebelahnya, sementara pandangan mataku tetap ke arah kontolnya yang baru kukocok. “Kamu kok lari sih…” bisiknya lirih disisiku. “Tadi katanya pejunya mau keluar mass… kok nggak jadi?” tanyaku polos. Rupanya dia gak mau ngecret karena aku kocok makanya dia bilang
pejunya mau keluar.

Dia meraih tubuhku yang berada di sampingnya dan dipeluknya dengan gemas, aku menggelinjang saat dia merapatkan badannya ke tubuhku sehingga toketku yang bundar montok menekan dadanya yang bidang. Aku merangkulkan kedua lenganku ke lehernya, dan tiba-tiba ia pun mengecup bibirku dengan mesra, kemudian dilumatnya bibirku sampai aku megap-megap kehabisan napas. Terasa kontolnya yang masih full ngaceng itu menekan kuat bagian pusarku, karena memang tubuhnya lebih tinggi dariku. Sementara bibir kami bertautan mesra, jemari tangannya mulai menggerayangi bagian bawah tubuhku, dua detik kemudian jemari kedua tangannya telah berada di atas bulatan kedua belah bokongku. Diremasnya dengan gemas, jemarinya bergerak memutar di bokongku. Aku merintih dan mengerang kecil dalam cumbuannya. Lalu dia merapatkan bagian bawah tubuhnya ke depan sehingga mau tak mau kontolnya yang tetap tegang itu jadi terdesak perutku lalu menghadap ke atas. Aku tak memberontak dan diam saja. Sementara itu dia mulai menggesek-gesekkan kontolnya yang tegang itu di perutku. Namun baru juga 10 detik aku melepaskan ciuman dan pelukannya dan tertawa-tawa kecil, “Kamu apaan sih kok ketawa”, tanyanya heran. “Abisnya… Mas sih,
kan aku geli digesekin kaya gitu”, sahutku sambil terus tertawa kecil. Dia segera merengkuh tubuhku kembali ke dalam pelukannya, dan aku tak menolak saat dia menyuruhku untuk meremas kontolnya seperti tadi. Segera jemari tangan kananku mengusap dan mengelus-elus kontolnya dan sesekali kuremas. Dia menggelinjang nikmat. “aagghh… Din… terus sayang…” bisiknya mesra. Wajah kami saling berdekatan dan aku memandang wajahnya yang sedang meringis menahan rasa nikmat. “Enaak ya mass…” bisikku mesra. Jemari tanganku semakin gemas saja mempermainkan kontolnya bahkan mulai kukocok seperti tadi. Dia melepaskan kecupan dan pelukanku. “Gerah nih sayang, aku buka baju dulu yaah sayang”, katanya sambil terus mencopot kancing kemejanya satu persatu lalu dilemparkan sekenanya ke samping.

Kini dia benar-benar polos dan telanjang bulat di hadapanku. Aku masih tetap
mengocok kontolnya maju mundur. “Sayang… kau suka yaa sama kontolku”, katanya. Sambil tetap mengocok kontolnya aku menjawab dengan polos. “suka sih Mas… habis kontol Mas lucu juga, keras banget Mas kayak kayu”, ujarku tanpa malu-malu lagi. “Lucu apanya sih?” tanyanya. Aku memandangnya sambil tersenyum “pokoknya lucu saja”, bisikku lirih tanpa penjelasan. “Gitu yaa… kalau memek kamu seperti apa yaa… aku pengen liat dong”, katanya. Aku mendelik sambil melepaskan tanganku dari kontolnya.
“Mas jorok ahh…” sahutku malu-malu. “Ayo, aku sudah kepengen ngerasain nih… aku buka ya celana kamu”, katanya lagi. Dan dengan cepat dia berjongkok di depanku, kedua tangannya meraih pinggulku dan didekatkan ke arahnya. Pada mulanya aku agak memberontak dan menolak tangannya namun begitu aku memandang wajahnya yang tersenyum padaku akhirnya aku hanya pasrah dan mandah saat jemari kedua tangannya mulai gerilya mencari ritsluiting celana ketatku yang berwarna putih itu.

Mukanya persis di depan selangkanganku sehingga dia dapat melihat gundukan bukit memekku dari balik celana ketatku. Dia semakin tak sabar, dan begitu menemukan ritsluitingku segera ditariknya ke bawah sampai terbuka, kebetulan aku tak memakai sabuk sehingga dengan mudah dia meloloskan dan memplorotkan celanaku sampai ke bawah. Sementara pandangannya tak pernah lepas dari selangkanganku, dan kini terpampanglah di depannya CDku yang berwarna putih bersih itu tampak sedikit menonjol di tengahnya. Terlihat dari CDku yang cukup tipis itu ada warna kehitaman,
jembutku. Waahh… dia memandang ke atas dan aku menatapnya sambil tetap
tersenyum. “Aku buka ya.. CDnya”, tanyanya. Aku hanya menganggukan kepala perlahan. Dengan gemetar jemari kedua tangannya kembali merayap ke atas menelusuri dari kedua betisku terus ke atas sampai kedua belah paha, dia mengusap perlahan dan mulai meremas. “Oooh…Masss” aku merintih kecil. kemudian jemari kedua tangannya merayap ke belakang kebelahan bokongku yang bulat. Dia meremas gemas disitu. Ketika jemari tangannya menyentuh tali karet CDku yang bagian atas, sreeet… secepat kilat ditariknya ke bawah CDku itu dengan gemas dan kini terpampanglah sudah daerah ‘forbidden’ ku.

Menggembung membentuk seperti sebuah gundukan bukit kecil mulai dari bawah pusarku sampai ke bawah di antara kedua belah pangkal pahaku, sementara di bagian tengah gundukan bukit memekku terbelah membentuk sebuah bibir tebal yang mengarah ke bawah dan masih tertutup rapat menutupi celah liang memekku. Dan di sekitar situ ada jembut yang cukup lebat. “Oohh.. Din, indahnya…” Hanya kalimat itu yang sanggup diucapkan saat itu. Dia mendongak ketika aku sedang membuka baju kaosku, setelah melemparkan kaos sekenanya kedua tanganku lalu menekuk ke belakang punggungnya hendak membuka braku dan tesss… bra itupun terlepas jatuh di
mukanya. Selanjutnya aku melepas juga celana dan CDku yang masih tersangkut di mata kakiku, lalu sambil tetap berdiri di depannya, aku tersenyum manis kepadanya, walaupun wajahku sedikit memerah karena malu. Toketku berbentuk bulat seperti buah apel, besarnya kira-kira sebesar dua kali bola tenis, warnanya putih bersih hanya pentil kecilnya saja yang tampak berwarna merah muda kecoklatan. “kamu cantik sekali sayang”, bisiknya lirih. Aku mengulurkan kedua tanganku kepadanya mengajaknya berdiri lagi. “Mass… aku sudah siap, aku sayang sama Mas, aku akan serahkan
semuanya seperti yang Mas inginkan”, bisikku mesra. Dia merangkul tubuhku yang telanjang. Badanku seperti kesetrum saat kulitku menyentuh kulit nya, kedua toketku yang bulat menekan lembut dadanya yang bidang. Jemari tangannya tergetar saat mengusap punggungku yang telanjang, “Aahh.. Din kita ng***** di kamar yuk, aku sudah kepingin ngen tot sayang”, bisiknya tanpa malu-malu lagi. Aku hanya tersenyum dalam pelukannya. “Terserah Mas saja, mau ng*****nya dimana”, sahutku mesra.

Dengan penuh nafsu dia segera meraih tubuhku dan digendongnya ke dalam kamar. Direbahkannya tubuhku yang telanjang bulat itu di atas kasur busa di dalam kamar tengah, tempat tidur itu tak terlalu besar, untuk 2 orang pun harus berdempetan. Suasana dalam kamar kelihatan gelap karena semua gorden tertutup, gorden yang berada dalam kamar ini sama sekali tidak menghadap ke jalan umum namun menghadap ke kebun di belakang. Dia segera membuka gorden agar sinar matahari sore dapat masuk, dan benar saja begitu disibakkan sinar matahari dari arah barat langsung menerangi seluruh isi kamar. Dia memandangi tubuhku yang telanjang bulat di ranjang. Segera dia menaiki ranjang, aku memandangnya sambil tersenyum. Dia
merayap ke atas tubuhku yang bugil dan menindihnya, sepertinya dia sudah tak sabar ingin segera memasuki memekku. “Buka pahamu sayang, aku ingin mengen totimu sekarang”, bisiknya bernafsu. “Mass…” aku hanya melenguh pasrah saat dia setengah menindih tubuhku dan kontolku yang tegang itu mulai menusuk celah memekku, tangannya tergetar saat membimbing kontolnya mengelus memekku lalu menelusup di antara kedua bibir memekku. “Sayang, aku masukkan yaah… kalau sakit bilang sayang.. kamu kan masih perawan.” “Pelan-pelan Mas”, bisikku pasrah. Lalu dengan jemari tangan kanannya diarahkannya kepala kontolnya ke memekku. Aku memeluk
pinggangnya mesra, sementara dia mencari liang memekku di antara belahan bukit memekku. Dia mencoba untuk menelusup celah bibir memekku bagian atas namun setelah ditekan ternyata jalan buntu. “Agak ke bawah Mas, aahh kurang ke bawah lagi Mas… mm.. yah tekan di situ Mas… aawww pelan-pelan Mas sakiiit”, aku memekik kecil dan menggeliat kesakitan. Akhirnya dia berhasil menemukan celah memekku itu setelah aku menuntunnya, diapun mulai menekan ke bawah, kepala kontolnya dipaksanya untuk menelusup ke dalam liang memekku yang sempit. Dia mengecup bibir ku sekilas lalu berkonsentrasi kembali untuk segera dapat membenamkan kontolnya seluruhnya ke dalam liang memekku. Aku mulai merintih dan memekik-mekik kecil ketika kepala kontolnya yang besar mulai berhasil menerobos liang memekku yang sangat-sangat sempit sekali. “Tahan sayang…aku masukkan lagi, sempit sekali
sayang aahh”, erangnya mulai merasakan kenikmatan dan kurasakan kepala kontolnya berhasil masuk dan terjepit ketat sekali dalam liang memekku. “aawwww…. masss sakiit…” teriakku memelas, tubuhku menggeliat kesakitan. Dia berusaha menentramkan aku sambil mengecup mesra bibirku dan dilumat dengan perlahan. Lalu, “tahan sayang, baru kepalanya yang masuk sayang, aku tekan lagi yaah”, bisiknya.

Tiba2 dia mencabut kembali kontolnya yang baru masuk kepalanya saja itu dengan perlahan. “Ah… sayang, aku masukin nanti saja deh, liang memekmu masih sangat sempit dan kering sayang.” “memekku sakit Mas”, erangku lirih. “Yahh… aku tahu sayang kamu kan masih perawan, kita bercumbu dulu sayang, aku kepingin melihat kamu nyampe”, bisiknya bernafsu. Segera dia merebahkan badannya di atas tubuhku dan dipeluknya dengan kasih sayang, “Din… hh.. bagaimana perasaanmu sayang”, bisiknya mesra. Aku memandangnya dan tertawa renyah. “mm… aku bahagia sekali bersama Mas seperti ini, rasanya nikmat ya Mas berpelukan sambil telanjang kaya gini”, ujarku polos. “Iyaa sayang, anggaplah aku suamimu saat ini sayang”, bisiknya
nakal. “Iih.. Mas, Mas cumbui isterimu dong, beri istrimu kenik…mmbhh”, belum sempat aku selesai ngomong, dia sudah melumat bibirku. Aku membalas ciumannya dan melumat bibirnya dengan mesra.Dia menjulurkan lidahnya ke dalam mulutku dan aku langsung mengulumnya hangat, begitu sebaliknya. Jemari tangan kirinya merayap ke bawah menelusuri sambil mengusap tubuhku mulai pundak terus ke bawah sampai ke pinggul dan diremasnya dengan gemas. Ketika tangannya bergerak kebelakang ke bulatan bokongku, dia mulai menggoyangkan seluruh badannya menggesek tubuhku yang bugil terutama pada bagian selangkangan dimana kontolnya yang sedang tegang-tegangnya menekan gundukan bukit memekku. Dia menggerakkan pinggulnya secara
memutar sambil menggesek-gesekkan batang kontolnya di permukaan bibir memekku sambil sesekali ditekan-tekan. Aku ikut-ikutan menggelinjang kegelian, beberapa kali kepala kontolnya yang tegang salah sasaran memasuki belahan bibir memekku seolah akan menembus liang memekku lagi. Aku hanya merintih kesakitan dan memekik kecil, “Aawwww… Mas saakiit”, erangku. “Aahh.. Din… memekmu empuk sekali sayang, ssshh”, dia melenguh keenakan.

Beberapa menit kemudian setelah kami puas bercumbu bibir, dia menggeser tubuhnya kebawah sampai mukanya tepat berada di atas kedua bulatan toketku, kini ganti perutnya yang menekan memekku. Jemari kedua tangannya secara bersamaan mulai menggerayangi gunung “Fujiyama” milikku, dia mulai menggesekkan ujung-ujung jemarinya mulai dari bawah toketku di atas perut terus menuju gumpalan kedua toketku yang kenyal dan montok. Aku merintih dan menggelinjang antara geli dan nikmat. “Mass, geli”, erangku lirih. Beberapa saat dia mempermainkan kedua pentilku yang kemerahan dengan ujung jemarinya. Aku menggelinjang lagi, dipuntirnya sedikit pentilku dengan lembut. ” Mas…” aku semakin mendesah tak karuan. Secara bersamaan
akhirnya dia meremas-remas gemas kedua toketku dengan sepenuh nafsu. “Aawww…Mas”, aku mengerang dan kedua tanganku memegangi kain sprei dengan kuat. Dia semakin menggila tak puas meremas lalu mulutnya mulai menjilati kedua toketku secara bergantian. Lidahnya menjilati seluruh permukaan toketku itu sampai basah, mulai dari toket yang kiri lalu berpindah ke toket yang kanan, digigit-gigitnya pentilku secara bergantian sambil diremas-remas dengan gemas sampai aku berteriak-teriak kesakitan. Lima menit kemudian lidahnya bukan saja menjilati kini mulutnya mulai beraksi menghisap kedua pentilku sekuat-kuatnya. Dia tak peduli aku menjerit dan
menggeliat kesana-kemari, sesekali kedua jemari tanganku memegang dan meremasi rambutnya, sementara kedua tangannya tetap mencengkeram dan meremasi kedua toketku bergantian sambil menghisap-hisap pentilnya. Bibir dan lidahnya dengan sangat rakus mengecup, mengulum dan menghisap kedua toketku. Di dalam mulutnya pentilku dipilin dengan lidahnya sambil terus dihisap. Aku hanya bisa mendesis, mengerang, dan beberapa kali memekik kuat ketika giginya menggigiti pentilku dengan gemas, hingga tak heran kalau di beberapa tempat di kedua bulatan toketku itu nampak berwarna kemerahan bekas hisapan dan garis-garis kecil bekas gigitannya.

Cukup lama dia mengemut toketku, setelah itu bibir dan lidahnya kini merayap menurun ke bawah. Ketika lidahnya bermain di atas pusarku, aku mulai mengerang-erang kecil keenakan, dia mengecup dan membasahi seluruh perutku. Ketika dia bergeser ke bawah lagi dengan cepat lidah dan bibirnya telah berada di atas gundukan bukit memekku. “Buka pahamu Din..” teriaknya tak sabar, posisi pahaku yang kurang membuka itu membuatnya kurang leluasa untuk mencumbu memekku itu. “Oooh… masss”, aku hanya merintih lirih. Dia membetulkan posisinya di atas selangkangan ku. Aku membuka ke dua belah pahaku lebar-lebar, aku sudah sangat terangsang sekali. Kedua tanganku masih tetap memegangi kain sprei, aku kelihatan tegang sekali. “Sayang… jangan tegang begitu dong sayang”, katanya mesra.
“Lampiaskan saja perasaanmu, jangan takut kalau IDin merasa nikmat, teriak saja sayang biar puass….” katanya selanjutnya. Sambil memejamkan mata aku berkata lirih. “Iya mass eenaak sih mass”, kataku polos. Dia memandangi memekku yang sudah ditumbuhi jembut namun kulit dimemekku dan sekitarnya itu tidak tampak keriput sedikitpun, masih kelihatan halus dan kencang. Bibir memekku kelihatan gemuk dan padat berwarna putih sedikit kecoklatan, sedangkan celah sempit yang berada di
antara kedua bibir memekku itu tertutup rapat. “MAs… ngapain sih kok ngelamun, bau yaa Mas?” tanyaku sambil tersenyum. Wajahku sedikit kusut dan berkeringat.”abisnya memekmu lucu sih, bau lagi”, balasnya nakal. “Iiihh… jahat”, Belum habis berkata begitu aku memegang kepalanya dan mengucek-ucek rambutnya. Dia tertawa geli.

Selanjutnya aku menekan kepalanya ke bawah, sontak mukanya terutama hidung dan bibirnya langsung nyosor menekan memekku, hidungnya menyelip di antara kedua bibir memekku. Bibirnya mengecup bagian bawah bibir memekku dengan bernafsu, sementara jemari kedua tangannya merayap ke balik pahaku dan meremas bokongku yang bundar dengan gemas. Dia mulai mencumbui bibir memekku yang tebal itu secara bergantian seperti kalau dia mencium bibirku. Puas mengecup dan mengulum bibir bagian atas, dia berpindah untuk mengecup dan mengulum bibir memekku bagian bawah. Karena ulahnya aku sampai menjerit-jerit karena nikmatnya, tubuhku menggeliat hebat dan terkadang meregang kencang, beberapa kali kedua pahaku sampai menjepit kepalanya yang lagi asyik masyuk bercumbu dengan bibir memekku. Dia memegangi kedua belah bokongku yang sudah berkeringat agar tidak bergerak terlalu banyak, sepertinya dia tak rela melepaskan pagutan bibirnya pada bibir memekku. aku mengerang-erang dan tak jarang memekik cukup kuat saking nikmatnya. Kedua tanganku meremasi rambutnya sampai kacau, sambil menggoyang-goyangkan pinggulku. Kadang pantat kunaikkan sambil mengejan nikmat atau kadang kugoyangkan memutar seirama dengan jilatan lidahnya pada seluruh permukaan memekku. aku berteriak makin keras, dan terkadang seperti orang menangis saking
tak kuatnya menahan kenikmatan yang diciptakannya pada memekku. Tubuhku menggeliat hebat, kepalaku bergerak ke kiri dan ke kanan dengan cepat, sambil mengerang tak karuan. Dia semakin bersemangat melihat tingkahku, mulutnya semakin buas, dengan nafas setengah memburu disibakkannya bibir memekku dengan jemari tangan kanannya, terlihat daging berwarna merah muda yang basah oleh air liurnya bercampur dengan cairan lendirku, agak sebelah bawah terlihat celah liang memekku yang amat sangat kecil dan berwarna kemerahan pula. Dia mencoba untuk membuka bibir memekku agak lebar, namun aku memekik kecil karena sakit. “aawww mass..
sakiit”, pekikku kesakitan. “maaf sayang, sakit yaa…” bisiknya khawatir. Dia mengusap dengan lembut bibir memekku agar sakitnya hilang, sebentar kemudian lalu disibakkan kembali pelan-pelan bibir memekku, celah merahnya kembali terlihat, agak ke atas dari liang memekku yang sempit itu ada tonjolan daging kecil sebesar kacang hijau yang juga berwarna kemerahan, inilah itil, bagian paling sensitif dari memek wanita. Lalu secepat kilat dengan rakus lidahnya dijulurkan sekuatnya keluar dan mulai menyentil-nyentil daging itilku. Aku memekik sangat keras sambil menyentak-nyentakkan kedua kakiku ke bawah. Aku mengejang hebat, pinggulku bergerak liar dan kaku, sehingga
jilatannya pada itilku jadi luput. Dengan gemas dia memegang kuat-kuat kedua belah pahaku lalu kembali menempelkan bibir dan hidungnya di atas celah kedua bibir memekku, dia menjulurkan lidahnya keluar sepanjang mungkin lalu ditelusupkannya lidahnya menembus jepitan bibir memekku dan kembali menyentil nikmat itilku dan, aku memekik tertahan dan tubuhku kembali mengejan sambil menghentak-hentakkan kedua kakiku, pantat ku angkat ke atas sehingga lidahnya memasuki celah bibir memekku lebih dalam dan menyentil-nyentil itilku. Begitu singkat karena tak sampai 1 menit aku
terisak menangis dan ada semburan lemah dari dalam liang memekku berupa cairan hangat agak kental banyak sekali. Dia masih menyentil itilku beberapa saat sampai tubuhku terkulai lemah dan akhirnya pantatku pun jatuh kembali ke kasur. Aku melenguh panjang pendek meresapi kenikmatan yang baru kurasakan, sementara dia masih menyedot sisa-sisa lendir yang keluar ketika aku nyampe. Seluruh selangkanganku tampak basah penuh air liur bercampur lendir yang kental. Dia menjilati seluruh permukaan memekku sampai agak kering, “Sayaang… puas kan…” bisiknya lembut namun aku sama sekali tak menjawab, mataku terpejam rapat namun mulutku tersenyum bahagia. “Giliranku sayang, aku mau masuk nih… tahan sakitnya sayang”,
bisiknya lagi tanpa menunggu jawabannya.

Dia segera bangkit dan duduk setengah berlutut di atas tubuhku yang telanjang berkeringat. Toketku penuh lukisan hasil karyanya. Dengan agak kasar dia menarik kakiku ke atas dan ditumpangkannya kedua pahaku pada pangkal pahanya sehingga kini selangkanganku menjadi terbuka lebar. Dia menarik bokongku ke arahnya sehingga kontolnya langsung menempel di atas memekku yang masih basah. Dia mengusap-usapkan kepala kontolnya pada kedua belah bibir memekku dan lalu beberapa saat kemudian dengan nakal kontolnya ditepuk-tepukkan dengan gemas ke memekku. Aku menggeliat manja dan tertawa kecil, “Mas… iiih.. gelii.. aah”, jeritku manja. “Sayaang, kontolku mau masuk nih… tahan yaa sakitnya”, bisiknya nakal penuh nafsu. “Iiihh… jangan kasar ya mass… pelan-pelan saja masukinnya, aku takut sakiit”, sahutku polos penuh kepasrahan. Sedikit disibakkannya bibir memekku dengan jemari kirinya, lalu diarahkannya kepala kontolnya yang besar ke liang memekku yang sempit. Dia mulai menekan dan aku pun meringis, dia tekan lagi… akhirnya perlahan-lahan mili
demi mili liang memekku itu membesar dan mulai menerima kehadiran kepala
kontolnya. Aku menggigit bibir. Dia melepaskan jemari tangannya dari bibir memekku dan plekk… bibir memekku langsung menjepit nikmat kepala kontolnya. “Tahan sayang…” bisiknya bernafsu. Aku hanya mengangguk pelan, mata lalu kupejamkan rapat-rapat dan kedua tanganku kembali memegangi kain sprei. Dia agak membungkukkan badannya ke depan agar pantatnya bisa lebih leluasa untuk menekan ke bawah. Dia memajukan pinggulnya dan akhirnya kepala kontolnya mulai tenggelam di dalam liang memekku. Dia kembali menekan, dan aku mulai menjerit kesakitan. Dia tak peduli, mili demi mili kontolnya secara pasti terus melesak ke dalam liang memekku dan tiba-tiba setelah masuk sekitar 4 centi seperti ada selaput lunak yang menghalangi kepala kontolnya untuk terus masuk, dia terus menekan dan aku melengking keras sekali lalu menangis terisak-isak. selaput daraku robek. Dia terus menekan kontolnya, ngotot terus memaksa memasuki liang memekku yang luar biasa sempit itu. Dia memegang pinggulku, dan ditariknya kearahnya kontolnya masuk makin ke dalam, Aku terus menangis terisak-isak kesakitan, sementara dia sendiri malah merem melek keenakan. Dan dia menghentak keras ke bawah, dengan cepat kontolnya mendesak
masuk liang memekku. dia mengerang nikmat. Dihentakkan lagi pantatnya ke bawah dan akhirnya kontolnya secara sempurna telah tenggelam sampai kandas terjepit di antara bibir memekku. dia berteriak keras saking nikmatnya, matanya mendelik menahan jepitan ketat memekku yang luar biasa. Sementara aku hanya memekik kecil lalu memandangnya sayu. “Mass… aku sudah nggak perawan lagi sekarang”, bisikku lirih. Kami sama-sama tersenyum.

Direbahkannya badannya di atas tubuhku yang telanjang, aku memeluknya penuh kasih sayang, toketku kembali menekan dadanya. Memekku menjepit meremas kuat kontolnya yang sudah amblas semuanya. Kami saling berpandangan mesra,dia mengusap mesra wajahku yang masih menahan sakit
menerima tusukan kontolnya. “Mas… bagaimana rasanya”, bisikku mulai mesra
kembali, walaupun sesekali kadang aku menggigit bibir menahan sakit. “Enaak
sayang.. dan nikmaat… oouhh aku nggak bisa mengungkapkannya dengan kata-kata sayang… selangit pokoknya”, bisiknya. “MAs, bagaimana kalau aku sampai hamil?” bisikku sambil tetap tersenyum.”Oke…nanti setelah ng***** kita cari obat di apotik, obat anti hamil”, bisiknya gemas. “Iihh… nakal…” sahutku sambil kembali mencubit pipinya. “Biariin…” “Maasss…” aku agak berteriak. “Apaan sih…” tanyanya kaget. Lalu sambil agak bersemu merah dipipi aku berkata lirih. “dienjot dong…” bisikku hampir tak terdengar.
“Iiih kamu kebanyakan nonton film porno, kan memeknya masih sakiit”, jawabnya. “Pokoknya, dienjot dong Mas…” sahutku manja. Dia mencium bibirku dengan bernafsu, dan akupun membalas dengan tak kalah bernafsu. Kami saling berpagutan lama sekali, lalu sambil tetap begitu dia mulai menggoyang pinggul naik turun. kontolnya mulai menggesek liang memekku dengan kasar, pinggulnya menghunjam-hunjam dengan cepat mengeluar masukkan kontolnya yang tegang. Aku memeluk punggungnya dengan kuat, ujung jemari tanganku menekan punggungnya dengan keras. Kukuku terasa
menembus kulitnya. Tapi dia tak peduli, dia sedang meng*****i dan menikmati tubuhku. Aku merintih dan memekik kesakitan dalam cumbuannya. Beberapa kali aku sempat menggigit bibirnya, namun itupun dia tak peduli. Dia hanya merasakan betapa liang memekku yang hangat dan lembut itu menjepit sangat ketat kontolnya. Ketika ditarik keluar terasa daging memekku seolah mencengkeram kuat kontolnya, sehingga terasa ikut keluar. Aku melepaskan ciumannya dan mencubit pinggangnya. “Awww… aduuh Mass… sakit … . ngilu Mas” aku berteriak kesakitan. “Maaf sayang… aku mainnya kasar yaah? aku nggak tahan lagi sayang aahhgghghh”, bisiknya. “pejuku mau keluar, desahnya sambil menyemprotkan peju yang banyak di liang memekku. Kami pun berpelukan puas atas kejadian tersebut. Dan tanpa terasa kami ketiduran sambil berpelukan telanjang bulat karena kecapaian dalam permainan tadi.

Kami tidur dua jam lamanya lalu kami berdua mandi bersama. Di dalam kamar mandi kami saling membersihkan dan berciuman. Dia minta aku jongkok. Dia mengajariku untuk menjilati serta mengulum kontolnya yang sudah tegak berdiri. Kontolnya kukulum sambil mengocoknya pelan-pelan naik turun. “Enak banget yang, kamu cepet ya belajarnya. Terus diemut yang”, erangnya. Kemudian giliran dia, aku disuruhnya berdiri sambil kaki satunya ditumpangkan di bibir bathtub agar siap mendapat serangan oralnya. Dia menyerang selangkanganku dengan lidah yang menari-nari kesana kemari pada itilku sehingga aku mengerang sambil memegang kepalanya untuk menenggelamkannya lebih dalam ke memekku. Dia tahu apa yang kumau, lalu
dijulurkannya lidahnya lebih dalam ke memekku sambil mengorek-korek itilku dengan jari manisnya. Semakin hebat rangsangan yang aku rasakan sampai aku nyampe, dengan derasnya lendirku keluar tanpa bisa dibendung. Dia menjilati dan menelan semua lendirku itu tanpa merasa jijik. “Mas, nikmat banget deh, aku sampe lemes”, kataku. “Ya udah kamu istirahat aja, aku mau ngangetin makanan dulu ya”, katanya. .Aku berbaring di ranjang, ngantuk sampe ketiduran lagi.

DIa membangunkanku dan mengajakku makan nasi padang yang sudah disiapkannya. “Din, malem ini kita tidur disini aja ya, aku masih pengen ngerasain peretnya memekmu lagi. Kamu mau kan kita ngen tot lagi”, katanya sambil membelai pipiku. “Aku nurut aja apa yang mas mau, aku kan udah punyanya mas”, jawabku pasrah. Sehabis makan langsung Aku dibawanya lagi keranjang, dan direbahkan. Kami langsung berpagutan lagi, aku sangat bernapsu meladeni ciumannya. Dia mencium bibirku, kemudian lidahnya menjalar menuju ke toketku dan dikulumnya pentilku. Terus menuju keperut dan dia menjilati pusarku hingga aku menggelepar menerima rangsangan itu yang terasa nikmat. “Mas enak sekali..” nafasku terengah2. Lumatannya terus dilanjutkannya pada itilku. Itilku dijilatinya, dikulum2, sehingga aku semakin terangsang hebat. Pantatku kuangkat supaya lebih dekat lagi kemulutnya. Diapun merespons hal itu dengan memainkan lidahnya ke dalam memekku yang sudah dibukanya sedikit dengan jari. Ketika responsku sudah hampir mencapai puncak, dia menghentikannya. Dia ganti dengan posisi 6. Dia telentang dan minta aku telungkup diatas tubuhnya tapi kepalaku ke arah kontolnya. Dia minta aku untuk kembali menjilati kepala kontolnya lalu
mengulum kontolnya keluar masuk mulutku dari atas. Setelah aku lancar melakukannya, dia menjilati memek dan itilku lagi dari bawah. Selang beberapa lama kami melakukan pemanasan maka dia berinisiatif untuk menancapkan kontolnya di memekku.

Aku ditelentangkannya, pahaku dikangkangkannya, pantatku diganjal dengan bantal. “buat apa mas, kok diganjel bantal segala”, tanyaku. “biar masuknya dalem banget yang, nanti kamu juga ngerasa enaknya”, jawabnya sambil menelungkup diatasku. Kontolnya digesek2kan di memekku yang sudah banyak lendirnya lagi karena itilku dijilati barusan. “Ayo Mas cepat, aku sudah tidak tahan lagi” pintaku dengan bernafsu. “Wah kamu sudah napsu ya Din, aku suka kalo kita ngen tot setelah kamu napsu banget sehingga gak sakit ketika kontolku masuk ke memek kamu”, jawabnya. Dengan pelan tapi pasti dia masukan kontolnya ke memekku. “Pelan2 ya mas, biar gak sakit”, lenguhku sambil merasakan kontolnya yang besar menerobos memekku yang masih
sempit. Dia terus menekan2 kontolnya dengan pelan sehingga akhirnya masuk semua. Lalu dia tarik pelan-pelan juga dan dimasukkan lagi sampai mendalam, terasa kontolnya nancep dalem sekali. “Mas enjot yang cepat, Mas, aku udah mau nyampe ach.. Uch.. Enak Mas, lebih enak katimbang dijilat mas tadi”, lenguhku. “Aku juga mau keluar, yang”, jawabnya. Dengan hitungan detik kami berdua nyampe bersama sambil merapatkan pelukan, terasa memekku berkedutan meremes2 kontolnya. Lemas dan capai kami berbaring sebentar untuk memulihkan tenaga.

Sudah satu jam kami beristirahat, lalu dia minta aku mengemut kontolnya lagi. “Aku belum puas yang, mau lagi, boleh kan?” yanyanya. “Boleh mas, aku juga pengen ngerasain lagi nyampe seperti tadi”, jawabku sambil mulai menjilati kepala kontolnya yang langsung ngaceng dengan kerasnya. Kemudian kepalaku mulai mengangguk2 mengeluar masukkan kontolnya dimulutku. Dia mengerang kenikmatan, “Enak banget Din emutanmu. Tadi memekmu juga ngempot kontolku ketika kamu nyampe. Nikmat banget deh malam ini, boleh diulang ya sayang kapan2?. Aku diam tidak menjawab
karena ada kontolnya dalam mulutku. “Din, aku udah mau ngecret nih, aku masukkin lagi ya ke memek kamu”, katanya sambil minta aku nungging. “MAu ngapain mas, kok aku disuru nungging segala”, jawabku tidak mengerti. “udah kamu nungging aja, mas mau ngen totin kamu dari belakang”, jawabnya. Sambil nungging aku bertanya lagi, “Mau dimasukkin di pantat ya mas, aku gak mau ah”. “Ya gak lah yang, ngapain di pantat, di memek kamu udah nikmat banget kok”, jawabnya. dengan pelan diumasukkannya kontolnya ke memekku, ditekan2nya sampe amblas semua, terasa kontolnya masuk dalem sekali, seperti tadi ketika pantatku diganjel bantal. Kontolnya mulai dikeluarmasukkan dengan irama lembut. Tanpa sadar aku mengikuti iramanya
dengan menggoyangkan pantatku. Tangan kirinya menjalar ke toketku dan diremas-remas kecil, sambil mulai memompa dengan semakin cepat. Aku mulai merasakan nikmatnya dien tot, sakit sudah tidak terasa lagi. “Mas, aku udah ngerasa enaknya dien tot, terus yang cepet ngenjotnya mas, rasanya aku udah mau nyampe lagi”, erangku. Dia tidak menjawab, enjotan kontolnya makin lama makin cepet dan keras, nikmat banget deh rasanya. Akhirnya dengan satu enjotan yang keras dia melenguh, “Din aku ngecret, aah”, erangnya. “Mas, aku nyampe juga mas, ssh”, bersamaan dengan ngecretnya pejunya aku juga nyampe.Kembali aku terkapar kelelahan.

Ketika aku terbangun, hari udah terang. Aku nggeletak telanjang bulat di ranjang dengan Satu kaki terbujur lurus dan yang sebelah lagi menekuk setengah terbuka mengangkang. Dia yang sudah bangun lebih dulu, menaiki ranjang dan menjatuhkan dadanya diantara kedua belah paha ku. Lalu dengan gemas, diciumnya pusarku. ” Mass, geli!” aku menggeliat manja. Dia tersenyum sambil terus saja menciumi pusarku berulang2 hingga aku menggelinjang beberapa kali. Dengan menggunakan ke2 siku dan lututnya ia merangkak sehingga wajahnya terbenam diantara ke2 toketku. Lidahnya
sedikut menjulur ketika dia mengecup pentilku sebelah kiri, kemudian pindah ke pentil kanan. Diulangnya beberapa kali, kemudian dia berhenti melakukan jilatannya. Tangan kirinya bergerak keatas sambil meremes dengan lembut toketku. Remasannya membuat pentilku makin mengeras, dengan cepat dikecupnya pentilku dan dikulum2nyasambil mengusap punggungku dengan tangan kanannya. “Kamu cantik sekali,” katanya sambil mendekatkan wajahnya ke wajahku. Aku hanya tersenyum, aku senang mendengar pujiannya. Kurangkul lehernya, kemudian kucium bibirnya. Lidahnya yang nyelip masuk mulutku kuhisap2. Aku segera meraba kontolnya lagi, kugenggam
dan kugesek2kan ke memekku yang mulai berlendir. Lendir memekku melumuri kepala kontolnya, kontolnya menjadi makin keras. Urat2 berwarna hijau di kulit batang kontolnya makin membengkak. Dia menekan pinggulnya sehingga kepala kontolnya nyelip di bibir memekku. Terasa bibir memekku menjepit kontolnya yang besar itu. Dia menciumi leherku, dadanya direndahkan sehingga menekan toketku. “Oh…mas”, lenguhku ketika ia menciumi telingaku. “Kakimu dibelitkan di pinggangku Din”, pintanya sambil terus mencium bibirku. Tangan kirinya terus meremas toketku sedang tangan
satunya mengelus pahaku yang sudah kulingkarkan di pinggangnya. Lalu dia
mendorong kontolnya lebih dalam. Sesak rasanya memekku. Pelan2 dia menarik
sedikit kontolnya, kemudian didorongnya. Hal ini dia lakukan beberapa kali sehingga lendir memekku makin banyak keluarnya, mengolesi kepala kontolnya. Sambil menghembuskan napas, dia menekan lagi kontolnya masuk lebih dalam. Dia menahan gerakan pinggulnya ketika melihat aku meringis. “Sakit yang”, tanyanya. “Tahan sedikit ya”. Dia kembali menarik kontolnya hingga tinggal kepalanya yang terselip di bibir luar memekku, lalu didorongnya kembali pelan2. Dia terus mengamati wajahku, aku setengah memejamkan mata tapi sudah tidak merasa sakit. “Din, nanti dorong pinggul
kamu keatas ya”, katanya sambil menarik kembali kontolnya. Dia mencium bibirku dengan lahap dan mendorong kontolnya masuk kontolnya. Pentilku diremesnya dengan jempol dan telunjuknya. Aku tersentak karena enjotan kontolnya dan secara reflex aku mendorong pinggulku ke atas sehingga kontolnya nancap lebih dalam. Aku menghisap lidahnya yang dijulurkan masuk ke mulutku. Sementara itu dia terus menekan kontolnya masuk lebih dalam lagi. Dia menahan gerakan pinggulnya, rambutku dibelai2nya dan terus mengecup bibirku. Kontolnya kembali ditariknya keluar lagi dan dibenamkan lagi pelan2, begitu dilakukannya beberapa kali sehingga seluruh kontolnya sudah nancap di memekku. Aku merangkul lehernya dan kakiku makin erat membelit pinggangnya.”Akh mas”, lenguhku ketika terasa kontolnya sudah masuk semua, terasa memekku berdenyut meremes2 kontolnya. “Masih sakit Din”, tanyanya. “Enak mas”, jawabku sambil mencakari punggungnya, terasa biji pelernya memukul2 pantatku. Dia mulai mengenjotkan kontolnya keluar masuk memekku. Entah bagaimana dia mengenjotkan kontolnya, itilku tergesek kontolnya ketika dia mengenjotkan kontolnya masuk. Aku menjadi terengah2 karena nikmatnya. Dia juga mendesah setiap kali mendorong
kontolnya masuk semua, “Din, memekmu peret sekali, terasa lagi empotannya, enak banget sayang ng***** dengan kamu”.Tangannya menyusup ke punggungku sambil terus mengenjotkan kontolnya. Terasa bibir memekku ikut terbenam setiap kali kontolnya dienjot masuk. “Mas”, erangku. Terdengar bunyi “plak” setiap kali dia menghunjamkan kontolnya. Bunyi itu berasal dari beradunya pangkal pahanya dengan pangkal pahaku karena aku mengangkat pinggulku setiap dia mengenjot kontolnya masuk. “Din, aku udah mau ngecrot”, erangnya lagi. Dia menghunjamkan kontolnya dalam2 di memekku dan terasalah pejunya nyembur2 di dalam memekku. Bersamaan dengan itu, “Mas, aku nyampe juga mas”, aku mengejang karena ikutan nyampe. Nikmat banget bersama dia, walaupun perawanku hilang aku tidak nyesel karena ternyata dien tot itu mendatangkan kenikmatan luar biasa.

Selengkapnya - Kisah Cinta Terlarang

Senin, 28 Maret 2011

Kisah Indah Pengalamanku

Satu saat tepatnya bulan Agustus 2001, aku pindah kerja ke kota Mlg.
Sesampai di stasiun kereta api jam 8 pagi aku langsung naik becak dan
melintas jalan K yang cukup terkenal lalu meminta kepada tukang becak
untuk segera diantar ke hotel yang mempunyai cukup fasilitas. Aku
menurunkan tas koperku di depan hotel R. Setelah cukup istirahat aku
berniat ingin sarapan, karena semalam di kereta api aku tidak makan.
Namun ketika keluar dan akan mengunci pintu kamar, aku terkejut melihat
beberapa wanita memakai pakaian swimsuit melintas dibelakangku. "Ada apa
gerangan?", dalam hati aku bertanya.
Rasa ingin tahuku begitu besar, sehingga membuat perutku rasanya menjadi
kenyang. Aku coba mengikuti para wanita tersebut dari belakang dan..,
wowww.., betapa bahenolnya pantat mereka. Sesaat aku berhenti dan..,
ternyata mereka adalah pengujung biasa yang hanya ingin latihan fitness.

Beberapa saat aku memperhatikan mereka, dan ketika itu juga terdengar
suara wanita menggoda menyapaku "Mau fitness juga Mas?", aku mencoba
berbalik badan.., ya ampun!, seorang wanita memakai swimsuit warna pink
dengan body yang aduhai dan mempunyai rambut lurus terurai hingga pundak
menghampiriku sambil tersenyum.

"Wah senyumnya begitu menggoda pikirku dalam hati", hingga aku sejenak
terdiam bagai patung tapi biji mataku berjalan dari atas ke bawah
memperhatikan wanita tersebut yang mempunyai kaki begitu panjang dan
indah. "Ohh.., tidak!, hanya lihat-lihat saja", jawabku.
"Mas.., dari mana?", wanita tersebut kembali bertanya.
"Malang.., saya sedang tugas ke sini, dan kebetulan saya menginap di
hotel ini, anda sendiri sedang apa disini?" aku memberanikan diri balik
bertanya.
"Sebenarnya aku ke sini mau fitness, tapi sudah full.., jadi aku
mengubah rencana ingin berenang saja, kebetulan kolam renangnya
bersebelahan dengan ruangan fitness".
Kesunyian memecahkan pembicaraan kami sejenak.., dan "Oh, ya.., Sony
namaku.., kamu siapa?", aku mencoba berkenalan.
"Namaku Juliet.., aku orang Jakarta, aku kuliah di sini, aku sering ke
hotel ini hanya untuk fitness dan berenang" jawab Juliet.
"Kalau begitu kita sama-sama saja ke kolam renang", aku coba mengajak.
"Emang Mas Sony mau berenang juga ya..", tanya Juliet. Aku terkejut
sambil menelan ludah.., gawat! aku kan nggak bisa berenang yachh.., ",
pikirku dalam hati.
"Oh, tidak.., tidak! kamu saja yang berenang, aku pesan makanan dan
minuman, kebetulan aku belum sarapan", jawabku sambil memanggil pelayan.
"Oke dech kalau begitu.., Juliet sekalian minta minuman berenergi boleh
nggak..?".
Langsung aku jawab, "Boleh-boleh.., mau berapa botol?", dan byuurr
Juliet menjatuhkan badannya yang sexy itu ke kolam", aku pesan satu
botol saja yach..", jawab Juliet manja dari dalam kolam.
Setelah 30 menit Juliet baru beranjak dari kolam renang dan langsung
glek.., glek.., glek.., satu botol kecil minuman berenergi langsung
kering diteguk Vina. "Pantas Vina mempunyai body begitu aduhai, dan
pasti mempunyai gairah seks yang tinggi", aku mengira-ngira.

"Mas Sony, berapa lama di sini?", tanya Juliet sambil mengusap-usap
rambutnya dan menjatuhkan pantatnya di kursi malas di sampingku.
"Enggak lama kok, hanya 2 hari" jawabku berbohong, padahal aku harus 1
bulan menetap di kota Y, karena tugas yang akan aku lakukan cukup berat.
Angin sepoi-sepoi mengusap pembicaraan kami berdua, rasanya kami sudah
cukup akrab meskipun perkenalan kami baru berlangsung beberapa jam dan
tak terasa waktu menunjukan pukul 10 pagi.
"Kamu mandi dan ganti pakaian di kamarku saja", aku memberanikan diri
memberi tawaran pada Juliet yang sejak tadi melonjorkan badannya dengan
tangan ke atas sehingga dengan bebas bulu ketiaknya menari-nari tertiup
angin.
"Boleh dech..", jawab Juliet singkat. Sampai di kamar, timbul rasa
birahiku karena tergoda bentuk tubuh Juliet yang menggigit seluruh
persendianku.
"Mas Son.., nanti malam Jul boleh ke sini nggak?, karena sekarang aku
mau kuliah dulu, Mas juga kan mau tugas dulu kan..?", tanya Juliet
ketika keluar dari kamar mandi dengan pakaian sudah rapi. Pertanyaan
Juliet itu sekaligus mengundang ribuan setan mempengaruhi pikiranku
mencari akal untuk merayu Juliet agar dapat aku setubuhi.
"Boleh Jul.., datang saja", jawabku sambil memegang pundak Juliet yang
mempunyai umur 23 tahun tinggi badan 167 cm. Juliet diam saja saat aku
pegang pundaknya, malah dia menatapku tajam. Aku tak berdaya akan
tatapan matanya yang begitu indah. Suasana hening.., dan perlahan aku
goyangkan kepalaku untuk mencoba menyentuh bibirnya.

"Jangan Mas.., aku sudah pakai lipstik, nanti berantakan lagi" jawab
Juliet menolak dengan halus. Aku jadi penasaran, tapi aku yakin dari
tatapan matanya tersembunyi ada kesan frustasi dalam diri Juliet, tapi
aku tidak mau mencoba berusaha tau ada apa sebenarnya yang terjadi
tehadap diri Juliet. Karena pikiranku sudah kacau termakan keindahan
lekuk tubuh Juliet yang begitu menggoda.
"Ting tong.., ting tong.., ting tong..", tepat pukul 7 malam suara bell
kamar berbunyi 3 kali, aku segera menghampiri pintu dan saat kubuka..,
wuuaahh kulihat Juliet berdiri manis dengan mengenakan gaun tipis
panjang warna biru muda dengan tali kecil di pundak hingga terlihat
anggun. Terlihat bercak dua bulatan BH di dadanya dan celana dalam
mungil yang tembus pandang tersorot lampu utama saat aku nyalakan.
"Mau mengajak jalan ke mana yach..? Kalau ke disco tidak mungkin, pasti
makan malam, sebab Juliet mengenakan pakaian resmi untuk pesta", dalam
hati aku bertanya-tanya.
"Masuk Jul.., aku masih pakai handuk dan mau ganti pakaian dulu, aku
baru selesai mandi", jawabku sambil menarik tangan Juliet yang mulus
putih bersih.

"Bleekk!" pintu kamar kututup dan.., terkejut aku tiba-tiba jemari
lentik nan lembut memegang jemariku yang kasar yang setiap hari memegang
obeng dan solder ketika aku mengunci pintu. Aku berbalik badan dan
sambil berdiri langsung aku belai rambut Juliet yang halus lurus
terurai.., aku teruskan belaianku ke wajah Juliet yang berbentuk oval
dan terlihat ada rasa penyesalan bercampur keputus-asaan juga keinginan
untuk melakukan persetubuhan yang paling melekat.., kulanjutkan
belaianku menyusuri pundak.., "Ohh Mas..", jawab Juliet lirih sambil
memejamkan matanya isyarat meminta untuk dicium. Aku tatap bibirnya
tidak berwarna merah muda lagi saat Juliet pakai di siang hari tadi,
mungkin ini menandakan aku boleh menciumnya. Aku dekap Juliet dengan
mesra seperti layaknya seorang istri di malam pertama. Dengan lembut aku
hunjamkan ciuman dengan deras ke bibir Juliet yang tipis menggoda. Tak
disangka.., Juliet membalas dengan menjulurkan lidahnya kedalam mulutku
dan memainkannya dengan lihai. Aku segera membelai dan menciumi tengkuk
leher panjang Juliet sampai pundak dan.., ting..!, aku lepas tali
gaunnya, hingga gaun terusan sampai kaki itu terjatuh ke lantai.

Kini hanya BH ukuran 36C tanpa tali ke pundak yang ada di hadapanku siap
aku mangsa. "Ahh.., ouuhh.., Mass.., beri Jul kepuasan.." terdengar
suara Juliet meminta dengan pasrah yang saat itu juga terdengar degupan
jantung Juliet yang berdetak keras dengan nafas terengah-engah apalagi
disaat aku mencoba membuka BH-nya yang yang tipis berwarna putih.
Woowww.., indah sekali buah dada Juliet yang menonjol ke depan dengan
puting kecil dan dikelilingi aurora yang kecil pula dan penuh kehangatan
itu.
"oouuhh.., Mass.., isap.., isap dong Mass Sonn.." pinta Juliet memelas.

Aku langsung melahap dua buah gunung kembar itu dengan hisapan dan
jilatan yang liar sehingga membangunkan kemaluanku yang bersembunyi di
balik handuk, sepertinya kemaluankupun sudah tidak sabar menggedor-gedor
dan menjatuhkan handuk hingga aku kini telanjang bulat. Aku semakin
gencar melancarkan serangan ke seluruh tubuh Juliet yang wangi khas
parfum true love, aku meremas buah dada kiri Juliet dan menjilati buah
dada kanan Juliet sambil memeluk dan mengelus-eluskan tanganku di
punggung Juliet sampai ke pantat. Juliet mendengus keenakan dan membuang
kepalanya ke belakang dengan otomatis dadanya membusung ke depan dan
makin tampak pula keindahan buah dadanya yang menonjol membesar.

"Terus Mass.., ouugghh.., yang keras isapnya Mass..", Juliet memaksa.
Perlahan aku pelorotkan CD Juliet yang tipis berwarna putih dan berbunga
di tengahnya hingga dengkul dan tanpa dikomando aku telah benamkan
kepalaku di hadapan liang kewanitaan Juliet yang tersembunyi dibalik
bulu-bulu halus yang lebat tak terkira. Ohh.., honey.., please go on..,
ouuhh.., sepertinya Juliet kurang bebas, akhirnya dia pelorotkan sendiri
CD-nya sampai kini dia benar-benar bugil tanpa sehelai benangpun
menempel di tubuh indahnya itu. Sambil berdiri Juliet membuka kakinya
lebar-lebar untuk menyerahkan lubang kenikmatannya yang menganga agar
segera dijilat.
"Ssstt.., sluupp.., eehhmm.., ohh.. Juliet betapa sempitnya memekmu",
pikirku yang terus membungkuk dan menjilati clitoris Juliet yang
nangkring di pintu gua yang penuh misterius namun penuh kenikmatan itu.

"Ougghh.., oouuhh.., eehhmm.." Juliet mendesah dan.., sseerr.., cairan
mani membanjiri liang kewanitaan yang membuatku semakin mudah
meluncurkan kemaluanku untuk menembus liang kewanitaan Juliet.
Kebangkitan birahi Juliet makin membara dan mulai memutar-mutarkan
pantatnya yang gempal dan bulat seirama dengan jilatan lidahku yang
lincah menari-nari di sekitara clitoris dengan sekali-sekali memasukan
lidahku ke dalam gua yang gelap gulita. Juliet menggelinjang keenakan.
Aku begitu merasakan kenikmatan begitupun Juliet yang menarik-narik
rambutku dengan ganas.., bagai seorang wanita yang sudah lama haus
menantikan kenikmatan yang tiada tara itu. "Oohh.., honey masukin cepat
kemaluannya", pinta Juliet tak sabar sambil menjatuhkan kedua tangannya
ke sofa dan menjulurkan pantatnya ke belakang dengan kaki mengangkang.

Kini Juliet dalam posisi berdiri menungging kebelakang siap menerima
kemaluanku dari belakang. Sleebb.., kemaluanku menembus lorong gelap
menuju singgasananya dengan perlahan.
"Oouuhh.., nikmat sekali Maass.., terus perlahan Maass.., acchhkk..,
jangan berhenti Maass.." Juliet memohon lirih, diputar-putarkan
pantatnya dari kiri ke kanan dan sebaliknya, sehingga rasa geli
menyelimuti kemaluanku yang keluar masuk di liang senggama Juliet yang
sempit tapi lembut. Aku semakin mengganas tatkala aku dengar desahan
Juliet yang tiada hentinya. "Oouugghh.., acchhkk.., yang cepat.., yang
keras.., Mass.., Mass.., oouugghh.., Maass..!". Seerr.., terasa basah
mengguyur kemaluanku yang masih berdiri tegak itu. Sehingga terdengar
bunyi clep.., clep.., liang surga Juliet mulai becek, Juliet
mengeluarkan kemaluanku dan.., slupp.., sluupp.., sstt.., Juliet
langsung melahap kemaluanku dan mengisap dengan rakusnya, sesekali dia
julurkan lidahnya untuk menjilati dua buah biji kemaluanku hingga lubang
anus yang membuatku mengelinjang kegelian.

Setelah puas memainkan kemaluanku, sepertinya Juliet meminta kembali
untuk diserang dan dia menarikku ke kamar mandi hingga ke bath tab
dengan memegang kemaluanku. Aku seperti kerbau dungu yang mau menuruti
perintah tuannya, namun jika kerbau yang ditarik hidungnya, tapi aku
yang ditarik kemaluanku yang sedang menegang. Juliet membuka kran air
dingin tanpa air panasnya, jadi terasa dingin sekali tatkala kami berdua
menjatuhkan diri kedalam bath tab tersebut.., namun tidak mengecilkan
semangat kemaluankku yang masih terus menjulang tegang. Juliet menutup
air kran setelah bath tab terisi sedikit sekedar membasahi alas bath
tab. Juliet kembali menjilati kemaluanku.., selangkanganku. Aku tidak
mau kalah, akhirnya aku bangkit dan aku tidur kembali membalikkan
tubuhku sehingga kepalaku kini berada tepat di depan liang kewanitaan
Juliet yang telah dari tadi menganga minta dijilat. Dalam keadaan posisi
69, Juliet berada di bawah dengan kaki merenggang diangkat ke sisi-sisi
bath tab, Juliet mengangkat pantatnya sambil digoyang-goyang dengan
dengan cepat karena semakin geli oleh jilatan lidahku yang menusuk-nusuk
hingga dalam.

"Oouuhh.., Maass.., masukin dong sayang.., Jul sudah nggak tahan
nich..", Juliet mengeluh minta dimasukin.
Akhirnya kami merubah posisi, giliran Juliet yang berada di atas, sedang
aku di bawah. Dengan posisi berjongkok Juliet langsung menangkap
kemaluanku dan menuntunnya masuk kedalam lubangnya yang sudah basah
dengan campuran mani dan air kran juga air ludahku. Sleebb.., sleebb..,
perlahan Juliet menaik-turunkan tubuhnya sambil memegang dadaku yang
plontos tanpa bulu sedikitpun. Aku lihat mata Juliet merem-melek
keenakan sambil mengigit-gigitkan bibirnya yang mungil itu dengan
sesekali mendesah. "Aahh.., acchh.., oouucchh.., Mass.., nikmat sekali,
kamu hebat mass.., bisa bikin aku puas.., oouuhh! acchh..! uuhh.., baru
kali ini aku merasakan kepuasan.., oouugghh..!", Juliet mengerang
merasakan kenikmatan yang tiada tara.

Juliet semakin mempercepat gerakannya dan terdengar suara bleb..,
bleb.., yang begitu keras antara pantat Juliet yang besar dengan pahaku,
berpadu dengan suara teriakan Juliet yang meminta ampun merasakan ngilu
atas gesekan kemaluanku dengan liang kewanitaan Juliet.
"Mass Sonn.., Jul mau keluar lagi.., kita keluarin sama-sama yach
say..?", pinta Juliet lagi memelas dengan suara sedikit gemetaran
menahan rasa nikmat yang segunung.
"Ouugghh.., honey.., aku mau keluar.., ayo sayang.., lebih cepat, lebih
cepat lagi sayang.., ouugghh..!", aku mendengus. "oouuhh..,.
aacckkhh..!!", Juliet berteriak keras sambil menggaruk dadaku kuat-kuat
merasakan kenikmatan dunia yang hebat itu. Cret.., cret.., cret..,
cret.., cairan maniku membasahi lubang kenikmatan Juliet dan terasa
becek sekali, tapi rasa itu menghilang dengan secara mendadak kemaluanku
yang masih mendarat di lubang kemaluan Juliet dipijit dengan keras oleh
liang senggama Juliet yang kembang kempis.
"Terima kasih ya Mas Son.., sudah memberi kepuasan kepada Juliet" ucapan
Juliet membisik di telingaku dan Juliet langsung terkulai lemas di atas
tubuhku dan tanpa sadar dia terbaring lelap dengan keadaan telanjang
bulat, indah dan mulus sekali tubuhnya walau sudah 3 kali orgasme, bau
aroma True Love-nyapun tetap melekat di tubuhnya.

Aku peluk tubuhnya dengan mesra dan akupun mulai tertidur, sebelumnya
aku buka penyumbat air bath tab supaya airnya mengalir keluar dan tidak
menggenang di dalam bath tub.
"Kalau airnya nggak dibuang bisa masuk angin aku.., apalagi dalam
keadaan capek begini", pikirku dalam hati.
Kamipun tertidur lelap sampai pagi di dalam bath tab. Ternyata Juliet
wanita yang kawin diusia muda dan melanjutkan kuliah di kota "Mlg", tapi
tidak pernah mendapatkan kepuasan seks dari suaminya, karena kemaluan
suaminya impoten.

Selengkapnya - Kisah Indah Pengalamanku

Sabtu, 26 Maret 2011

Enaknya Ngentot Tante Yani

Jakarta! Ya, akhirnya jadi juga aku ke Jakarta. Kota impian semua orang, paling tidak bagi orang sedesaku di Gumelar, Kabupaten Banyumas, 23 Km ke arah utara Purwokerto, Jawa Tengah. Aku memang orang desa. Badanku tidak menggambarkan usiaku yang baru menginjak 16 tahun, bongsor berotot dengan kulit sawo gelap. Baru saja aku menamatkan ST (Sekolah Teknik) Negeri Baturaden, sekitar 5 Km dari Desa Gumelar, atau 17 Km utara Purwokerto. Kegiatanku sehari-hari selama ini kalau tidak sekolah, membantu Bapak dan Emak berkebun. Itulah sebabnya badanku jadi kekar dan kulit gelap. Kebunku memang tak begitu luas, tapi cukup untuk menopang kehidupan keluarga kami sehari-hari yang hanya 5 orang. Aku punya 2 orang adik laki-laki semua, 12 dan 10 tahun.

Boleh dikatakan aku ini orangnya ?kuper?. Anak dari desa kecil yang terdiri dari hanya belasan rumah yang terletak di kaki Gunung Slamet. Jarak antar rumahpun berjauhan karena diselingi kebun-kebun, aku jadi jarang bertemu orang. Situasi semacam ini mempengaruhi kehidupanku kelak. Rendah diri, pendiam dan tak pandai bergaul, apalagi dengan wanita. Pengetahuanku tentang wanita hampir dapat dikatakan nol, karena lingkungan bergaulku hanya seputar rumah, kebun, dan sekolah teknik yang muridnya 100% lelaki.

Pembaca yang budiman, kisah yang akan Anda baca ini adalah pengalaman nyata kehidupanku sekitar 9 sampai 6 tahun lalu. Pengalaman nyata ini aku ceritakan semuanya kepada Mas Joko, kakak kelasku, satu-satunya orang yang aku percayai yang hobinya memang menulis. Dia sering menulis untuk majalah dinding, buletin sekolah, koran dan majalah lokal yang hanya beredar di seputar Purwokerto. Mas Joko kemudian meminta izinku untuk menulis kisah hidupku ini yang katanya unik dan katanya akan dipasang di internet. Aku memberinya izin asalkan nama asliku tidak disebutkan. Jadi panggil saja aku Tarto, nama samaran tentu saja.

Aku ke Jakarta atas seizin orang tuaku, bahkan merekalah yang mendorongnya. Pada mulanya aku sebenarnya enggan meninggalkan keluargaku, tapi ayahku menginginkan aku untuk melanjutkan sekolah ke STM. Aku lebih suka kerja saja di Purwokerto. Aku menerima usulan ayahku asalkan sekolah di SMA (sekarang SMU) dan tidak di kampung. Dia memberi alamat adik misannya yang telah sukses dan tinggal di bilangan Tebet, Jakarta. Ayahku sangat jarang berhubungan dengan adik misannya itu. Paling hanya beberapa kali melalui surat, karena telepon belum masuk ke desaku. Kabar terakhir yang aku dengar dari ayahku, adik misannya itu, sebut saja Oom Ton, punya usaha sendiri dan sukses, sudah berkeluarga dengan satu anak lelaki umur 4 tahun dan berkecukupan. Rumahnya lumayan besar. Jadi, dengan berbekal alamat, dua pasang pakaian, dan uang sekedarnya, aku berangkat ke Jakarta. Satu-satunya petunjuk yang aku punyai: naik KA pagi dari Purwokerto dan turun di stasiun Manggarai. Tebet tak jauh dari stasiun ini.

Stasiun Manggarai, pukul 15.20 siang aku dicekam kebingungan. Begitu banyak manusia dan kendaraan berlalu lalang, sangat jauh berbeda dengan suasana desaku yang sepi dan hening. Singkat cerita, setelah ?berjuang? hampir 3 jam, tanya ke sana kemari, dua kali naik mikrolet (sekali salah naik), sekali naik ojek yang mahalnya bukan main, sampailah aku pada sebuah rumah besar dengan taman yang asri yang cocok dengan alamat yang kubawa.

Berdebar-debar aku masuki pintu pagar yang sedikit terbuka, ketok pintu dan menunggu. Seorang wanita muda, berkulit bersih, dan .. ya ampun, menurutku cantik sekali (mungkin di desaku tidak ada wanita cantik), berdiri di depanku memandang dengan sedikit curiga. Setelah aku jelaskan asal-usulku, wajahnya berubah cerah. ?Tarto, ya ? Ayo masuk, masuk. Kenalkan, saya Tantemu.? Dengan gugup aku menyambut tangannya yang terjulur. Tangan itu halus sekali. ?Tadinya Oom Ton mau jemput ke Manggarai, tapi ada acara mendadak. Tante engga sangka kamu sudah sebesar ini. Naik apa tadi, nyasar, ya ?? Cecarnya dengan ramah. ?Maaar, bikin minuman!? teriaknya kemudian. Tak berapa lama datang seorang wanita muda meletakkan minuman ke meja dengan penuh hormat. Wanita ini ternyata pembantu, aku kira keponakan atau anggota keluarga lainnya, sebab terlalu ?trendy? gaya pakaiannya untuk seorang pembantu.

Sungguh aku tak menduga sambutan yang begitu ramah. Menurut cerita yang aku dengar, orang Jakarta terkenal individualis, tidak ramah dengan orang asing, antar tetangga tak saling kenal. Tapi wanita tadi, isteri Oomku, Tante Yani namanya (?Panggil saja Tante,? katanya akrab) ramah, cantik lagi. Tentu karena aku sudah dikenalkannya oleh Oom Ton.

Aku diberi kamar sendiri, walaupun agak di belakang tapi masih di rumah utama, dekat dengan ruang keluarga. Kamarku ada AC-nya, memang seluruh ruang yang ada di rumah utama ber-AC. Ini suatu kemewahan bagiku. Dipanku ada kasur yang empuk dan selimut tebal. Walaupun AC-nya cukup dingin, rasanya aku tak memerlukan selimut tebal itu. Mungkin aku cukup menggunakan sprei putih tipis yang di lemari itu untuk selimut. Rumah di desaku cukup dingin karena letaknya di kaki gunung, aku tak pernah pakai selimut, tidur di dipan kayu hanya beralas tikar. Aku diberi ?kewenangan? untuk mengatur kamarku sendiri.

Aku masih merasa canggung berada di rumah mewah ini. Petang itu aku tak tahu apa yang musti kukerjakan. Selesai beres-beres kamar, aku hanya bengong saja di kamar. ?Too, sini, jangan ngumpet aja di kamar,? Tante memanggilku. Aku ke ruang keluarga. Tante sedang duduk di sofa nonton TV. ?Sudah lapar, To ?? ?Belum Tante.? Sore tadi aku makan kue-kue yang disediakan Si Mar. ?Kita nunggu Oom Ton ya, nanti kita makan malam bersama-sama.? Oom Ton pulang kantor sekitar jam 19 lewat. ?Selamat malam, Oom,? sapaku. ?Eh, Ini Tarto ? Udah gede kamu.? ?Iya Oom.? ?Gimana kabarnya Mas Kardi dan Yu Siti,? Oom menanyakan ayah dan ibuku. ?Baik-baik saja Oom.? Di meja makan Oom banyak bercerita tentang rencana sekolahku di Jakarta. Aku akan didaftarkan ke SMA Negeri yang dekat rumah. Aku juga diminta untuk menjaga rumah sebab Oom kadang-kadang harus ke Bandung atau Surabaya mengurusi bisnisnya. ?Iya, saya kadang-kadang takut juga engga ada laki-laki di rumah,? timpal Tante. ?Berapa umurmu sekarang, To ?? ?Dua bulan lagi saya 16 tahun, Oom.? ?Badanmu engga sesuai umurmu.?

***

Hari-hari baruku dimulai. Aku diterima di SMA Negeri 26 Tebet, tak jauh dari rumah Oom dan Tanteku. Ke sekolah cukup berjalan kaki. Aku memang belum sepenuhnya dapat melepas kecanggunganku. Bayangkan, orang udik yang kuper tamatan ST (setingkat SLTP) sekarang sekolah di SMA metropolitan. Kawan sekolah yang biasanya lelaki melulu, kini banyak teman wanita, dan beberapa diantaranya cantik-cantik. Cantik ? Ya, sejak aku di Jakarta ini jadi tahu mana wanita yang dianggap cantik, tentunya menurut ukuranku. Dan tanteku, Tante Yani, isteri Oom Ton menurutku paling cantik, dibandingkan dengan kawan-kawan sekolahku, dibanding dengan tante sebelah kiri rumah, atau gadis (mahasiswi ?) tiga rumah ke kanan. Cepat-cepat kuusir bayangan wajah tanteku yang tiba-tiba muncul. Tak baik membayangkan wajah tante sendiri. Pada umumnya teman-teman sekolahku baik, walaupun kadang-kadang mereka memanggilku ?Jawa?, atau meledek cara bicaraku yang mereka sebut ?medok?. Tak apalah, tapi saya minta mereka panggil saja Tarto. Alasanku, kalau memanggil ?Jawa?, toh orang Jawa di sekolah itu bukan hanya aku. Mereka akhirnya mau menerima usulanku. Terus terang aku di kelas menjadi cepat populer, bukan karena aku pandai bergaul. Dibandingkan teman satu kelas tubuhku paling tinggi dan paling besar. Bukan sombong, aku juga termasuk murid yang pintar. Aku memang serius kalau belajar, kegemaranku membaca menunjang pengetahuanku.

Kegemaranku membaca inilah yang mendorongku bongkar-bongkar isi rak buku di kamarku di suatu siang pulang sekolah. Rak buku ini milik Oom Ton. Nah, di antara tumpukan buku, aku menemukan selembar majalah bergambar, namanya Popular.

Rupanya penemuan majalah inilah merupakan titik awalku belajar mandiri tentang wanita. Tidak sendiri sebetulnya, sebab ada ?guru? yang diam-diam membimbingku. Kelak di kemudian hari aku baru tahu tentang ?guru? itu.

Majalah itu banyak memuat gambar-gambar wanita yang bagus, maksudnya bagus kualitas fotonya dan modelnya. Dengan berdebar-debar satu-persatu kutelusuri halaman demi halaman. Ini memang majalah hiburan khusus pria. Semua model yang nampang di majalah itu pakaiannya terbuka dan seronok. Ada yang pakai rok demikian pendeknya sehingga hampir seluruh pahanya terlihat, dan mulus. Ada yang pakai blus rendah dan membungkuk memperlihatkan bagian belahan buah dada. Dan, ini yang membuat jantungku keras berdegup : memakai T-shirt yang basah karena disiram, sementara dalamnya tidak ada apa-apa lagi. Samar-samar bentuk sepasang buah kembar kelihatan. Oh, begini tho bentuk tubuh wanita. Dasarnya aku sangat jarang ketemu wanita. Kalau ketemu-pun wanita desa atau embok-embok, dan yang aku lihat hanya bagian wajah. Bagaimana aku tidak deg-deg-an baru pertama kali melihat gambar tubuh wanita, walaupun hanya gambar paha dan sebagian atas dada.

Sejak ketemu majalah Popular itu aku jadi lain jika memandang wanita teman kelasku. Tidak hanya wajahnya yang kulihat, tapi kaki, paha dan dadanya ?kuteliti?. Si Rika yang selama ini aku nilai wajahnya lumayan dan putih, kalau ia duduk menyilangkan kakinya ternyata memiliki paha mulus agak mirip foto di majalah itu. Memang hanya sebagian paha bawah saja yang kelihatan, tapi cukup membuatku tegang. Ya tegang. ?Adikku? jadi keras! Sebetulnya penisku menjadi tegang itu sudah biasa setiap pagi. Tapi ini tegang karena melihat paha mulus Rika adalah pengalaman baru bagiku. Sayangnya dada Rika tipis-tipis saja. Yang dadanya besar si Ani, demikian menonjol ke depan. Memang ia sedikit agak gemuk. Aku sering mencuri pandang ke belahan kemejanya. Dari samping terkadang terbuka sedikit memperlihatkan bagian dadanya di sebelah kutang. Walau terlihat sedikit cukup membuatku ?ngaceng?. Sayangnya, kaki Ani tak begitu bagus, agak besar. Aku lalu membayangkan bagaimana bentuk dada Ani seutuhnya, ah ngaceng lagi! Atau si Yuli. Badannya biasa-biasa saja, paha dan kaki lumayan berbentuk, dadanya menonjol wajar, tapi aku senang melihat wajahnya yang manis, apalagi senyumnya. Satu lagi, kalau ia bercerita, tangannya ikut ?sibuk?. Maksudku kadang mencubit, menepuk, memukul, dan, ini dia, semua roknya berpotongan agak pendek. Ah, aku sekarang punya ?wawasan? lain kalau memandang teman-teman cewe.

Ah! Tante Yani! Ya, kenapa selama ini aku belum ?melihat dengan cara lain?? Mungkin karena ia isteri Oomku, orang yang aku hormati, yang membiayai hidupku, sekolahku. Mana berani aku ?menggodanya? meskipun hanya dari cara memandang. Sampai detik ini aku melihat Tante Yani sebagai : wajahnya putih bersih dan cantik. Tapi dasar setan selalu menggoda manusia, bagaimana tubuhnya ? Ah, aku jadi pengin cepat-cepat pulang sekolah untuk ?meneliti? Tanteku. Jangan ah, aku menghormati Tanteku.

Aduh! Kenapa begini ? Apanya yang begini ? Tante Yani! Seperti biasa, kalau pulang aku masuk dari pintu pagar langsung ke garasi, lalu masuk dari pintu samping rumah ke ruang keluarga di tengah-tengah rumah. Melewati ruang keluarga, sedikit ke belakang sampai ke kamarku. Isi ruang keluarga ini dapat kugambarkan : di tengahnya terhampar karpet tebal yang empuk yang biasa digunakan tante untuk membaca sambil rebahan, atau sedang dipijit Si Mar kalau habis senam. Agak di belakang ada satu set sofa dan pesawat TV di seberangnya. Sewaktu melewati ruang keluarga, aku menjumpai Tante Yani duduk di kursi dekat TV menyilang kaki sedang menyulam, berpakaian model kimono. Duduknya persis si Rika tadi pagi, cuma kaki Tante jauh lebih indah dari Rika. Putih, bersih, panjang, di betis bawahnya dihiasi bulu-bulu halus ke atas sampai paha. Ya, paha, dengan cara duduk menyilang, tanpa disadari Tante belahan kimononya tersingkap hingga ke bagian paha agak atas. Tanpa sengaja pula aku jadi tahu bahwa tante memiliki paha selain putih bersih juga berbulu lembut. Sejenak aku terpana, dan lagi-lagi tegang. Untung aku cepat sadar dan untung lagi Tante begitu asyik menyulam sehingga tidak melihat ulah keponakannya yang dengan kurang ajar ?memeriksa? pahanya. Ah, kacau.

Sebenarnya tidak sekali ini aku melihat Tante memakai kimono. Kenapa aku tadi terangsang mungkin karena ?penghayatan? yang lain, gara-gara majalah itu. Selesai makan ada dorongan aku ingin ke ruang tengah, meneruskan ?penelitianku? tadi. Aku ada alasan lain tentu saja, nonton TV swasta, hal baru bagiku. Mungkin aku mulai kurang ajar : mengambil posisi duduk di sofa nonton TV tepat di depan Tante, searah-pandang kalau mengamati pahanya! ?Gimana sekolahmu tadi To ?? tanya Tante tiba-tiba yang sempat membuatku kaget sebab sedang memperhatikan bulu-bulu kakinya. ?Biasa-biasa saja Tante.? ?Biasa gimana ? Ada kesulitan engga ?? ?Engga Tante.? ?Udah banyak dapat kawan ?? ?Banyak, kawan sekelas.? ?Kalau kamu pengin main lihat-lihat kota, silakan aja.? ?Terima kasih, Tante. Saya belum hafal angkutannya.? ?Harus dicoba, yah nyasar-nyasar dikit engga apa-apa, toh kamu tahu jalan pulang.? ?Iya Tante, mungkin hari Minggu saya akan coba.? ?Kalau perlu apa-apa, uang jajan misalnya atau perlu beli apa, ngomong aja sama Tante, engga usah malu-malu.? Gimana kurang baiknya Tanteku ini, keponakannya saja yang nakal. Nakal ? Ah ?kan cuma dalam pikiran saja, lagi pula hanya ?meneliti? kaki yang tanpa sengaja terlihat, apa salahnya. ?Terima kasih Tante, uang yang kemarin masih ada kok.? ?Emang kamu engga jajan di sekolah ?? Berdesir darahku. Sambil mengucapkan ?jajan? tadi Tante mengubah posisi kakinya sehingga sekejap, tak sampai sedetik, sempat terlihat warna merah jambu celana dalamnya! Aku berusaha keras menenangkan diri. ?Jajan juga sih, hanya minuman dan makanan kecil.? Akupun ikut-ikutan mengubah posisi, ada sesuatu yang mengganjal di dalam celanaku. Untung Tante tidak memperhatikan perubahan wajahku. Sepanjang siang ini aku bukannya nonton TV. Mataku lebih sering ke arah Tante, terutama bagian bawahnya!

Hari-hari berikutnya tak ada kejadian istimewa. Rutin saja, sekolah, makan siang, nonton TV, sesekali melirik kaki Tante. Oom Ton pulang kantor selalu malam hari. Saat ketemu Oomku hanya pada makan malam, bertiga. Si Luki, anak lelakinya 4 tahun biasanya sudah tidur. Kalau Luki sudah tidur, Tinah, pengasuhnya pamitan pulang. Pada acara makan malam ini, sebetulnya aku punya kesempatan untuk menikmati? (cuma dengan mata) paha mulus berbulu Tante, sebab malam ini ia memakai rok pendek, biasanya memakai daster. Tapi mana berani aku menatap pemandangan indah ini di depan Oom. Betapa bahagianya mereka menurut pandanganku. Oom tamat sekolahnya, punya usaha sendiri yang sukses, punya isteri yang cantik, putih, mulus. Anak hanya satu. Punya sopir, seorang pembantu, Si Mar dan seorang baby sitter Si Tinah. Sopir dan baby sitter tidak menginap, hanya pembantu yang punya kamar di belakang. Praktis Tante Yani banyak waktu luang. Anak ada yang mengasuh, pekerjaan rumah tangga beres ditangan pembantu. Oh ya, ada seorang lagi, pengurus taman biasa di panggil Mang Karna, sudah agak tua yang datang sewaktu-waktu, tidak tiap hari.

Keesokkan harinya ada kejadian ?penting? yang perlu kuceritakan. Pagi-pagi ketika aku sedang menyusun buku-buku yang akan kubawa ke sekolah, ada beberapa lembar halaman yang mungkin lepasan atau sobekan dari majalah luar negeri terselip di antara buku-buku pelajaranku. Aku belum sempat mengamati lembaran itu, karena buru-buru mau berangkat takut telat. Di sekolah pikiranku sempat terganggu ingat sobekan majalah berbahasa Inggris itu, milik siapa ? Tadi pagi sekilas kulihat ada gambarnya wanita hanya memakai celana jean tak berbaju. Inilah yang mengganggu pikiranku. Sempat kubayangkan, bagaimana kalau Ani hanya memakai jean. Kaki dan pahanya yang kurang bagus tertutup, sementara bulatan dadanya yang besar terlihat jelas. Ah.. nakal kamu To!

Pulang sekolah tidak seperti biasa aku tidak langsung ke meja makan, tapi ngumpet di kamarku. Pintu kamar kukunci dan mulai mengamati sobekan majalah itu. Ada 4 lembar, kebanyakan tulisan yang tentu saja tidak kubaca. Aku belum paham Bahasa Inggris. Di setiap pojok bawah lembaran itu tertulis: Penthouse. Langsung saja ke gambar. Gemetaran aku dibuatnya. Wanita bule, berpose membusungkan dadanya yang besar, putih, mulus, dan terbuka seluruhnya! Paha dan kakinya meskipun tertutup jean ketat, tapi punya bentuk yang indah, panjang, persis kaki milik Tante. Hah, kenapa aku jadi membandingkan dengan tubuh Tante ? Peduli amat, tapi itulah yang terbayang. Kenapa aku sebut kejadian penting, karena baru sekaranglah aku tahu bentuk utuh sepasang buah dada, meskipun hanya dari foto. Bulat, di tengah ada bulatan kecil warna coklat, dan di tengah-tengah bulatan ada ujungnya yang menonjol keluar. Segera saja tubuhku berreaksi, penisku tegang, dada berdebar-debar. Halaman berikutnya membuatku lemas, mungkin belum makan. Masih wanita bule yang tadi tapi sekarang di close-up. Buah dadanya makin jelas, sampai ke pori-porinya. Ini kesempatanku untuk ?mempelajari? anatomi buah kembar itu. Dari atas kulit itu bergerak naik, sampai puting yang merupakan puncaknya, kemudian turun lagi ?membulat?. Ya, beginilah bentuk buah dada wanita. Putingnya, apakah selalu menonjol keluar seperti menunjuk ke depan ? Jawabannya baru tahu kelak kemudian hari ketika aku ?praktek?. Tiba-tiba terlintas pikiran nakal, Tante Yani! Bagaimana ya bentuk buah dada Tanteku itu ? Ah, kenapa selama ini aku tak memperhatikannya. Asyik lihat ke bawah terus sih! Memang kesempatannya baru lihat paha. Kimono Tante waktu itu, kalau tak salah, tertutup sampai dibawah lehernya. Tapi ?kan bisa lihat bentuk luarnya. Ah, memang mataku tak sampai kesitu. Melihat bentuk paha dan kaki cewe bule ini mirip milik Tante, aku rasa bentuk dadanyapun tak jauh berbeda, begitu aku mencoba memperkirakan. Begitu banyak aku berdialog dengan diri sendiri tentang buah dada. Begitu banyak pertanyaan yang bermuara pada pertanyaan inti : Bagaimana bentuk buah dada Tanteku yang cantik itu ? Untungnya, atau celakanya, pertanyaanku itu segera mendapat jawaban, di meja makan. Di pertengahan makan siangku, Tante muncul istimewa. Mengenakan baju-mandi, baju mirip kimono tapi pendek dari bahan seperti handuk tapi lebih tipis warna putih dan ada pengikat di pinggangnya. Tante kelihatan lain siang itu, segar, cerah. Kelihatannya baru selesai mandi dan keramas, sebab rambutnya diikat handuk ke atas mirip ikat kepala para syeh. ?Oh, kamu sudah pulang, engga kedengaran masuknya,? sapanya ramah sambil berjalan menuju ke tempatku. ?Dari tadi Tante,? jawabku singkat. Ia berhenti, berdiri tak jauh dari dudukku. Kedua tangannya ke atas membenahi handuk di rambutnya. Posisi tubuh Tante yang beginilah memberi jawaban atas pertanyaanku tadi. Luar biasa! Besar juga buah dada Tante ini, persis seperti perkiraanku tadi, bentuknya mirip punya cewe bule di Penthouse tadi.

Meskipun aku melihatnya masih ?terbungkus? baju-mandi, tapi jelas alurnya, bulat menonjol ke depan. Di bagian kanan baju mandinya rupanya ada yang basah, ini makin mempertegas bentuk buah indah itu. Samar-samar aku bisa melihat lingkaran kecil di tengahnya. Sehabis mandi mungkin hanya baju-mandi itu saja yang membungkus tubuhnya sekarang. Bawahnya aku tak tahu. Bawahnya! Ya, aku melupakan pahanya. Segera saja mataku turun. Kini lebih jelas, bulu-bulu lembut di pahanya seperti diatur, berbaris rapi. Ah aku sekarang lagi tergila-gila buah dada. Pandanganku ke atas lagi. Mudah-mudahan ia tak melihatku melahap (dengan mata) tubuhnya. Memang ia tidak memperhatikanku, pandangannya ke arah lain masih terus asyik merapikan rambutnya. Tapi aku tak bisa berlama-lama begini, disamping takut ketahuan, lagipula aku ?kan sedang makan. Kuteruskan makanku. Bagaimana reaksi tubuhku, susah diceritakan. Yang jelas kelaminku tegang luar biasa. Tiba-tiba ia menarik kursi makan di sebelahku dan duduk. Ah, wangi tubuhnya terhirup olehku. ?Makan yang banyak, tambah lagi tuh ayamnya.? Bagaimana mau makan banyak, kalau ?diganggu? seperti ini. Aku mengiakan saja. Rupanya ?gangguan nikmat? belum selesai. Aku duduk menghadap ke utara. Di dekatku duduk si Badan-sintal yang habis mandi, menghadap ke timur. Aku bebas melihat tubuhnya dari samping kiri. Ia menundukkan kepalanya dan mengurai rambutnya ke depan. Dengan posisi seperti ini, badan agak membungkuk ke depan dan satu-satunya pengikat baju ada di pinggang, dengan serta merta baju mandinya terbelah dan menampakkan pemandangan yang bukan main. Buah dada kirinya dapat kulihat dari samping dengan jelas. Ampun.. putihnya, dan membulat. Kalau aku menggeser kepalaku agak ke kiri, mungkin aku bisa melihat putingnya. Tapi ini sih ketahuan banget. Jangan sampai. Betapa tersiksanya aku siang ini. Tersiksa tapi nikmat! Oh Tuhan, janganlah aku Kau beri siksa yang begini. Aku khawatir tak sanggup menahan diri. Rasa-rasanya tanganku ingin menelusup ke belahan baju mandi ini lalu meremas buah putih itu? Kalau itu terjadi, bisa-bisa aku dipulangkan, dan hilanglah kesempatanku meraih masa depan yang lebih baik. Apa yang kubilang pada ayahku ? Dapat kupastikan ia marah besar, dan artinya, kiamat bagiku.

Untung, atau sialnya, Tante cepat bangkit menuju ke kamar sambil menukas: ?Teruskan ya makannya.? ?Ya Tante,? sahutku masih gemetaran. Aah., aku menemukan sesuatu lagi. Aku mengamati Tante berjalan ke kamarnya dari belakang, gerakan pinggulnya indah sekali. Pinggul yang tak begitu lebar, tapi pantatnya demikian menonjol ke belakang. Tubuh ideal, memang.

Malamnya aku disuruh makan duluan sendiri. Tante menunggu Oom yang telat pulang malam ini. Masih terbayang kejadian siang tadi bagaimana aku menikmati pemandangan dada Tante yang membuat aku tak begitu selera makan. Tiba-tiba aku dikejutkan oleh kedatangan Tante yang muncul dari kamarnya. Masih mengenakan baju-mandi yang tadi, rambutnya juga masih diikat handuk. Langsung ia duduk disebelahku persis di kursi yang tadi. Belum habis rasa kagetku, tiba-tiba pula ia pindah dan duduk di pangkuanku! Bayangkan pembaca, bagaimana nervous-nya aku. Yang jelas penisku langsung mengeras merasakan tindihan pantat Tante yang padat. Disingkirkannya piringku, memegang tangan kiriku dan dituntunnya menyelinap ke belahan baju-mandinya. Aku tidak menyia-nyiakan kesempatan emas ini. Kuremas dadanya dengan gemas. Hangat, padat dan lembut.

Tantepun menggoyang pantatnya, terasa enak di kelaminku. Goyangan makin cepat, aku jadi merasa geli di ujung penisku. Rasa geli makin meningkat dan meningkat, dan .. Aaaaah, aku merasakan nikmat yang belum pernah kualami, dan eh, ada sesuatu terasa keluar berbarengan rasa nikmat tadi, seperti pipis dan? aku terbangun. Sialan! Cuma mimpi rupanya. Masa memimpikan Tante, aku jadi malu sendiri. Kejadian siang tadi begitu membekas sampai terbawa mimpi. Eh, celanaku basah. Mana mungkin aku ngompol. Lalu apa dong ? Cepat-cepat aku periksa. Memang aku ngompol! Tapi tunggu dulu, kok airnya lain, lengket-lengket agak kental. Ah, kenapa pula aku ini ? Apa yang terjadi denganku ? Besok coba aku tanya pada Oom. Gila apa! Jangan sama Oom dong. Lalu tanya kepada Tante, tak mungkin juga. Coba ada Mas Joko, kakak kelasku di ST dulu. Mungkin teman sekolahku ada yang tahu, besok aku tanyakan.

***

Esoknya aku ceritakan hal itu kepada Dito teman paling dekat. Sudah barang tentu kisahnya aku modifikasi, bukan Tante yang duduk di pangkuanku, tapi ?seseorang yang tak kukenal?. ?Kamu baru mengalami tadi malam ?? ?Ya, tadi malam.? ?Telat banget. Aku sudah mengalami sewaktu kelas 2 SMP, dua tahun lalu. Itu namanya mimpi basah.? ?Mimpi basah ?? ?Ya. Itu tandanya kamu mulai dewasa, sudah aqil-baliq. Lho, emangnya kamu belum pernah dengar ?? Malu juga aku dibilang telat dan belum tahu mimpi basah. Tapi juga ada rasa sedikit bangga, aku mulai dewasa! ?Rupanya kamu badan aja yang gede, pikiran masih anak-anak.? Ah biar saja. Beberapa hari sebelum mimpi basah itu toh aku sudah ?menghayati? wanita sebagai orang dewasa! ?Kamu punya pacar ?? ?Engga.? ?Atau pernah pacaran ?? ?Engga juga.? ?Pantesan telat kalau begitu. Waktu kelas 3 SMP aku punya pacar, teman sekelas. Enak deh, sekolah jadi semangat.? ?Kalau pacaran ngapain aja sih ?? tanyaku lugu. Memang betul aku belum tahu tentang pacaran. Tentang wanitapun aku baru tahu beberapa hari lalu. ?Ha.. ha.. ha.! Kampungan lu! Ya tergantung orangnya. Kalau aku sih paling-paling ciuman, raba-raba, udah. Kalau si Ricky kelewatan, sampai pacarnya hamil.? Ciuman, raba-raba. Aku pernah lihat orang ciuman di filem TV, enak juga kelihatannya, belum pernah aku membayangkan. Kalau meraba, pernah kubayangkan meremas dada Tante. ?Hamil ?? Pelajaran baru nih. ?Ada juga yang sampai ?gitu? tapi engga hamil. Engga tahu aku caranya gimana.? ?Gitu gimana ?? ?Kamu betul-betul engga tahu ?? Lalu ia cerita bagaimana hubungan kelamin itu. Dengan bisik-bisik tentunya. Aku jadi tegang. Pantaslah aku dibilang kampungan, memang betul-betul baru tahu saat ini. Kelamin lelaki masuk ke kelamin wanita, keluar bibit manusia, lalu hamil. Bibit! Mungkin yang keluar dari kelaminku semalam adalah bibit manusia. Bagaimana mungkin kelaminku sebesar ini bisa masuk ke lubang pipis wanita ? Sebesar apa lubangnya, dan di mana ? Yang pernah aku lihat kelamin wanita itu kecil, berbentuk segitiga terbalik dan ada belahan kecil di ujung bawahnya. Tapi yang kulihat dulu itu di desa adalah kelamin anak-anak perempuan yang sedang mandi di pancuran. Kelamin wanita dewasa sama sekali aku belum pernah lihat. Bagaimana bentuknya ya ? Mungkin segitiganya lebih besar. Ah, pikiranku terlalu jauh. Ciuman saja dulu. Aku sependapat dengan Dito, kalau pacaran ciuman dan raba-raba saja. Aku jadi ingin pacaran, tapi siapa yang mau pacaran sama aku yang kuper ini ? Ya dicari dong! Si Rika, Ani atau Yuli ? Siapa sajalah, asal mau jadi pacarku, buat ciuman dan diraba-raba. Sepertinya sedap.

Dalam perjalanan pulang aku membayangkan bagaimana seandainya aku pacaran sama Rika. Pahanya yang lumayan mulus enak dielus-elus. Tanganku terus ke atas membuka kancing bajunya, lalu menyelusup dan? sopir Bajaj itu memaki-maki membuyarkan lamunanku. Tanpa sadar aku berjalan terlalu ke tengah. Di balik kutang Rika hanya ada sedikit tonjolan, tak ada ?pegangan?, kurang enak ah. Tiba-tiba Rika berubah jadi Ani. Melamun itu memang enak, bisa kita atur semau kita. Ketika membuka kancing baju Ani aku mulai tegang. Kususupkan empat jariku ke balik kutang Ani. Nah ini, montok, keras walau tak begitu halus. Telapak tanganku tak cukup buat ?menampung? dada Ani. Aku berhenti, menunggu lampu penyeberangan menyala hijau. Sampai di seberang jalan kusambung khayalanku. Ani telah berubah menjadi Yuli. Anak ini memang manis, apalagi kalau tersenyum, bibirnya indah, setidaknya menurutku. Aku mulai mendekatkan mulutku ke bibir Yuli yang kemudian membuka mulutnya sedikit, persis seperti di film TV kemarin. Kamipun berciuman lama. Kancing baju seragam Yulipun mulai kulepas, dua kancing dari atas saja cukup. Kubayangkan, meski dari luar dada Yuli menonjol biasa, tak kecil dan tak besar, ternyata dadanya besar juga. Kuremas-remas sepuasnya sampai tiba di depan rumah.

Aku kembali ke dunia nyata. Masuk melalui pintu garasi seperti biasa, membuka pintu tengah sampai ke ruang keluarga. Juga seperti biasa kalau mendapati Tante sedang membaca majalah sambil rebahan di karpet, atau menyulam, atau sekedar nonton TV di ruang keluarga. Yang tidak biasa adalah, kedua bukit kembar itu. Tante membaca sambil tengkurap menghadap pintu yang sedang kumasuki. Posisi punggungnya tetap tegak dengan bertumpu pada siku tangannya. Mengenakan daster dengan potongan dada rendah, rendah sekali. Inipun tak biasa, atau karena aku jarang memperhatikan bagian atas. Tak ayal lagi, kedua bukit putih itu hampir seluruhnya tampak. Belahannya jelas, sampai urat-urat lembut agak kehijauan di kedua buah dada itu samar-samar nampak. Aku tak melewatkan kesempatan emas ini. Tante melihat sebentar ke arahku, senyum sekejap, terus membaca lagi. Akupun berjalan amat perlahan sambil mataku tak lepas dari pemandangan amat indah ini?

Hampir lengkap aku ?mempelajari? tubuh Tanteku ini. Wajah dan ?komponen?nya mata, alis, hidung, pipi, bibir, semuanya indah yang menghasilkan : cantik. Walaupun dilihat sekejap, apalagi berlama-lama. Paha dan kaki, panjang, semuanya putih, mulus, berbulu halus. Pinggul, meski baru lihat dari bentuknya saja, tak begitu lebar, proporsional, dengan pantat yang menonjol bulat ke belakang. Pinggang, begitu sempit dan perut yang rata. Ini juga hanya dari luar. Dan yang terakhir buah dada. Hanya puting ke bawah saja yang belum aku lihat langsung. Kalau daerah pinggul, bagian depannya saja yang aku belum bisa membayangkan. Memang aku belum pernah membayangkan, apalagi melihat kelamin wanita dewasa. Aku masih penasaran pada yang satu ini.

Keesokkan harinya, siang-siang, Dito memberiku sampul warna coklat agak besar, secara sembunyi-sembunyi.

“Nih, buat kamu”

“Apa nih ?”

“Simpan aja dulu, lihatnya di rumah, Hati-hati” Aku makin penasaran. “Lanjutan pelajaranku kemarin. Gambar-gambar asyik” bisiknya.

Sampai di rumah aku berniat langsung masuk kamar untuk memeriksa benda pemberian Dito. Tante lagi membaca di karpet, kali ini terlentang, mengenakan daster dengan kancing di tengah membelah badannya dari atas ke bawah. Kancingnya yang terbawah lepas sebuah yang mengakibatkan sebagian pahanya tampak, putih. “Suguhan” yang nikmat sebenarnya, tapi kunikmati hanya sebentar saja, pikiranku sedang tertuju ke sampul coklat. Dengan tak sabaran kubuka sampul itu, sesudah mengunci pintu kamar, tentunya. Wow, gambar wanita bule telanjang bulat! Sepertinya ini lembaran tengah suatu majalah, sebab gambarnya memenuhi dua halaman penuh. Wanita bule berrambut coklat berbaring terlentang di tempat tidur. Segera saja aku mengeras. Buah dadanya besar bulat, putingnya lagi-lagi menonjol ke atas warna coklat muda. Perutnya halus, dan ini dia, kelaminnya! Sungguh beda jauh dengan apa yang selama ini kuketahui. Aku tak menemukan “segitiga terbalik” itu. Di bawah perut itu ada rambut-rambut halus keriting. Ke bawah lagi, lho apa ini ? Sebelah kaki cewe itu dilipat sehingga lututnya ke atas dan sebelahnya lagi menjuntai di pinggir ranjang memperlihatkan selangkangannya. Inilah rupanya lubang itu. Bentuknya begitu “rumit”. Ada daging berlipat di kanan kirinya, ada tonjolan kecil di ujung atasnya, lubangnya di tengah terbuka sedikit. Mungkin di sinilah tempat masuknya kelamin lelaki. Tapi, mana cukup ? Oo, seperti inilah rupanya wujud kelamin wanita dewasa. Tiba-tiba pikiran nakalku kambuh : begini jugakah punya Tante? Pertanyaan yang jelas-jelas tak mungkin mendapatkan jawaban! Bagaimana dengan punya Rika, Ani, atau Yuli? Sama susahnya untuk mendapatkan jawaban. Lupakan saja. Tunggu dulu, barangkali Si Mar pembantu itu bisa memberikan “jawaban”. Orangnya penurut, paling tidak dia selalu patuh pada perintah majikannya, termasuk aku. Bahkan dulu itu tanpa aku minta membantuku beres-beres kamarku, dengan senang pula. Orangnya lincah dan ramah. Tidak terlalu jelek, tapi bersih. Kalau sudah dandan sore hari ngobrol dengan pembantu sebelah, orang tak menyangka kalau ia pembantu. Dulu waktu pertama kali ketemupun aku tak mengira bahwa ia pembantu. Setiap pagi ia menyapu dan mengepel seluruh lantai, termasuk lantai kamarku. Kadang-kadang aku sempat memperhatikan pahanya yang tersingkap sewaktu ngepel, bersih juga. Yang jelas ia periang dan sedikit genit. Tapi masa kusuruh ia membuka celana dalamnya “Coba Mar aku pengin lihat punyamu, sama engga dengan yang di majalah” Gila!. Jangan langsung begitu, pacari saja dulu. Ah, pacaran kok sama pembantu. Apa salahnya? dari pada tidak pacaran sama sekali. Okey, tapi bagaimana ya cara memulainya ? Ah, dasar kuper!

Aku jadi lebih memperhatikan Si Mar. Mungkin ia setahun atau dua tahun lebih tua dariku, sekitar 18 lah. Wajahnya biasa-biasa saja, bersih dan selalu cerah, kulit agak kuning, dadanya tak begitu besar, tapi sudah berbentuk. Paha dan kaki bersih. Mulai hari ini aku bertekat untuk mulai menggoda Si Mar, tapi harus hati-hati, jangan sampai ketahuan oleh siapapun. Seperti hari-hari lainnya ia membersihkan kamarku ketika aku sedang sarapan. Pagi ini aku sengaja menunda makan pagiku menunggu Si Mar. Tante masih ada di kamarnya. Si Mar masuk tapi mau keluar lagi ketika melihat aku ada di dalam kamar.

“Masuk aja mbak, engga apa-apa” kataku sambil pura-pura sibuk membenahi buku-buku sekolah. Masuklah dia dan mulai bersih-bersih. Tanganku terus sibuk berbenah sementara mataku melihatnya terus. Sepasang pahanya nampak, sudah biasa sih lihat pahanya, tapi kali ini lain. Sebab aku membayangkan apa yang ada di ujung atas paha itu. Aku mengeras. Sekilas tampak belahan dadanya waktu ia membungkuk-bungkuk mengikuti irama ngepel. Tiba-tiba ia melihatku, mungkin merasa aku perhatikan terus.

“Kenapa, Mas” Kaget aku.

“Ah, engga. Apa mbak engga cape tiap hari ngepel”

“Mula-mula sih capek, lama-lama biasa, memang udah kerjaannya” jawabnya cerah.

“Udah berapa lama mbak kerja di sini ?”

“Udah dari kecil saya di sini, udah 5 tahun”

“Betah ?”

“Betah dong, Ibu baik sekali, engga pernah marah. Mas dari mana sih asalnya ?”Tanyanya tiba-tiba. Kujelaskan asal-usulku.

“Oo, engga jauh dong dari desaku. Saya dari Cilacap”

Pekerjaannya selesai. Ketika hendak keluar kamar aku mengucapkan terima kasih.

“Tumben.” Katanya sambil tertawa kecil. Ya, tumben biasanya aku tak bilang apa-apa.

***

“Mana, yang kemarin ?” Dito meminta gambar cewe itu.

“Lho, katanya buat aku”

“Jangan dong, itu aku koleksi. Kembaliin dulu entar aku pinjamin yang lain, lebih serem!”

“Besok deh, kubawa”

Sampai di rumah Si Luki sedang main-main di taman sama pengasuhnya. Sebentar aku ikut bermain dengan anak Oomku itu. Tinah sedikit lebih putih dibanding Si Mar, tapi jangan dibandingkan dengan Tante, jauh. Orangnya pendiam, kurang menarik. Dadanya biasa saja, pinggulnya yang besar. Tapi aku tak menolak seandainya ia mau memperlihatkan miliknya. Pokoknya milik siapa saja deh, Rika, Ani, Yuli, Mar, atau Tinah asal itu kelamin wanita dewasa. Penasaran aku pada “barang” yang satu itu. Apalagi milik Tante, benar-benar suatu karunia kalau aku “berhasil” melihatnya! Di dalam ada Si Mar yang sedang nonton telenovela buatan Brazil itu. Aku kurang suka, walaupun pemainnya cantik-cantik. Ceritanya berbelit. Duduk di karpet sembarangan, lagi-lagi pahanya nampak. Rasanya si Mar ini makin menarik.

“Mau makan sekarang, Mas ?”

“Entar aja lah”

“Nanti bilang, ya. Biar saya siapin”

“Tante mana mbak?”

“Kan senam” Oh ya, ini hari Rabu, jadwal senamnya. Seminggu Tante senam tiga kali, Senin, Rabu dan Jumat. Ketika aku selesai ganti pakaian, aku ke ruang keluarga, maksudku mau mengamati Si Mar lebih jelas. Tapi Si Mar cepat-cepat ke dapur menyiapkan makan siangku. Biar sajalah, toh masih banyak kesempatan. Kenapa tidak ke dapur saja pura-pura bantu ? Akupun ke dapur.

“Masak apa hari ini ?” Aku berbasa-basi.

“Ada ayam panggang, oseng-oseng tahu, sayur lodeh, pilih aja”

“Aku mau semua” Candaku. Dia tertawa renyah. Lumayan buat kata pembukaan.

“Sini aku bantu”

“Ah, engga usah” Tapi ia tak melarang ketika aku membantunya. Ih, pantatnya menonjol ke belakang walau pinggulnya tak besar. Aku ngaceng. Kudekati dia. Ingin rasanya meremas pantat itu. Beberapa kali kusengaja menyentuh badannya, seolah-olah tak sengaja. ‘Kan lagi membantu dia. Dapat juga kesempatan tanganku menyentuh pantatnya, kayaknya sih padat, aku tak yakin, cuma nyenggol sih. Mar tak berreaksi. Akhirnya aku tak tahan, kuremas pantatnya. Kaget ia menolehku.

“Iih, Mas To genit, ah” katanya, tapi tidak memprotes.

“Habis, badanmu bagus sih”. Sekarang aku yakin, pantatnya memang padat.

“Ah, biasa saja kok”

Akupun berlanjut, kutempelkan badan depanku ke pantatnya. Barangku yang sudah mengeras terasa menghimpit pantatnya yang padat, walaupun terlapisi sekian lembar kain. Aku yakin iapun merasakan kerasnya punyaku. Berlanjut lagi, kedua tanganku kedepan ingin memeluk perutnya. Tapi ditepisnya tanganku.

“Ih, nakal. Udah ah, makan dulu sana!”

“Iya deh makan dulu, habis makan terus gimana ?”

“Yeee!” sahutnya mencibir tapi tak marah. Tangannya berberes lagi setelah tadi berhenti sejenak kuganggu. Walaupun penasaran karena aksiku terpotong, tapi aku mendapat sinyal bahwa Si Mar tak menolak kuganggu. Hanya tingkat mau-nya sampai seberapa jauh, harus kubuktikan dengan aksi-aksi selanjutnya!

Kembali aku menunda sarapanku untuk “aksi selanjutnya” yang telah kukhayalkan tadi malam. Ketika ia sedang menyapu di kamarku, kupeluk ia dari belakang. Sapunya jatuh, sejenak ia tak berreaksi. Amboi ..dadanya berisi juga! Jelas aku merasakannya di tanganku, bulat-bulat padat. Kemudian Si Marpun meronta.

“Ah, Mas, jangan!” protesnya pelan sambil melirik ke pintu. Aku melepaskannya, khawatir kalau ia berteriak. Sabar dulu, masih banyak kesempatan.

“Terima kasih” kataku waktu ia melangkah keluar kamar. Ia hanya mencibir memoncongkan mulutnya lucu. Mukanya tetap cerah, tak marah. Sekarang aku selangkah lebih maju!

***

Aku ingat janjiku hari ini untuk mengembalikan foto porno milik Dito. Tapi di mana foto itu ? Jangan-jangan ada yang mengambilnya. Aku yakin betul kemarin aku selipkan di antara buku Fisika dan Stereometri (kedua buku itu memang lebar, bisa menutupi). Nah ini dia ada di dalam buku Gambar. Pasti ada seseorang yang memindahkannya. Logikanya, sebelum orang itu memindahkan, tentu ia sempat melihatnya. Tiba-tiba aku cemas. Siapa ya ? Si Mar, Tinah, atau Tante ? Atau lebih buruk lagi, Oom Ton ? Aku jadi memikirkannya. Siapapun orang rumah yang melihat foto itu, membuatku malu sekali! Yang penting, aku harus kembalikan ke Dito sekarang.

Siangnya pulang sekolah ketika aku masuk ke ruang keluarga, Si Mar sedang memijit punggung Tante. Tante tengkurap di karpet, Si Mar menaiki pantat Tante. Punggung Tante itu terbuka 100 %, tak ada tali kutang di sana. Putihnya mak..! Si Mar cepat-cepat menutup punggung itu ketika tahu mataku menjelajah ke sana, sambil melihatku dengan senyum penuh arti. Sialan! Si Mar tahu persis kenakalanku. Aku masuk kamar. Hilang kesempatan menikmati punggung putih itu. Tadi pagi aku lupa membawa buku Gambar gara-gara mengurus foto si Dito. Aku berniat mempersiapkan dari sekarang sambil berusaha melupakan punggung putih itu. Sesuatu jatuh bertebaran ke lantai ketika aku mengambil buku Gambar. Seketika dadaku berdebar kencang setelah tahu apa yang jatuh tadi. Lepasan dari majalah asing. Di tiap pojok bawahnya tertulis “Hustler” edisi tahun lalu. Satu serial foto sepasang bule yang sedang berhubungan kelamin! Ada tiga gambar, gambar pertama Si Cewe terlentang di ranjang membuka kakinya sementara Si Cowo berdiri di atas lututnya memegang alatnya yang tegang besar (mirip punyaku kalau lagi tegang cuma beda warna, punyaku gelap) menempelkan kepala penisnya ke kelamin Cewenya. Menurutku, dia menempelnya kok agak ke bawah, di bawah “segitiga terbalik” yang penuh ditumbuhi rambut halus pirang.

Gambar kedua, posisi Si Cewe masih sama hanya kedua tangannya memegang bahu si Cowo yang kini condong ke depan. Nampak jelas separoh batangnya kini terbenam di selangkangan Si Cewe. Lho, kok di situ masuknya ? Kuperhatikan lebih saksama. Kayaknya dia “masuk” dengan benar, karena di samping jalan masuk tadi ada “yang berlipat-lipat”, persis gambar milik Dito kemarin. Menurut bayanganku selama ini, “seharusnya” masuknya penis agak lebih ke atas. Baru tahu aku, khayalanku selama ini ternyata salah! Gambar ketiga, kedua kaki Si Cewe diangkat mengikat punggung Si Cowo. Badan mereka lengket berimpit dan tentu saja alat Si Cowo sudah seluruhnya tenggelam di “tempat yang layak” kecuali sepasang “telornya” saja menunggu di luar. Mulut lelaki itu menggigit leher wanitanya, sementara telapak tangannya menekan buah dada, ibujari dan telunjuk menjepit putting susunya. Gemetaran aku mengamati gambar-gambar ini bergantian. Tanpa sadar aku membuka resleting celanaku mengeluarkan milikku yang dari tadi telah tegang. Kubayangkan punyaku ini separoh tenggelam di tempat si Mar persis gambar kedua. Kenyataanya memang sekarang sudah separoh terbenam, tapi di dalam tangan kiriku. Akupun meniru gambar ketiga, tenggelam seluruhnya, gambar kedua, setengah, ketiga, seluruhnya..geli-geli nikmat… terus kugosok… makin geli.. gosok lagi.. semakin geli… dan.. aku terbang di awan.. aku melepas sesuatu… hah.. cairan itu menyebar ke sprei bahkan sampai bantal, putih, kental, lengket-lengket. Enak, sedap seperti waktu mimpi basah. Sadar aku sekarang ada di kasur lagi, beberapa detik yang lalu aku masih melayang-layang. He! Kenapa aku ini? Apa yang kulakukan ? Aku panik. Berbenah. Lap sini lap sana. Kacau! Kurapikan lagi celanaku, sementara si Dia masih tegang dan berdenyut, masih ada yang menetes. Aku menyesal, ada rasa bersalah, rasa berdosa atas apa yang baru saja kulakukan. Aku tercenung. Gambar-gambar sialan itu yang menyebabkan aku begini. Masturbasi. Istilah aneh itu baru aku ketahui dari temanku beberapa hari sesudahnya. Si Dito menyebutnya ‘ngeloco’. Aneh. Ada sesuatu yang lain kurasakan, keteganganku lenyap. Pikiran jadi cerah meski badan agak lemas..

***

Sehari itu aku jadi tak bersemangat, ingat perbuatanku siang tadi. Rasanya aku telah berbuat dosa. Aku menyalahkan diriku sendiri. Bukan salahku seluruhnya, aku coba membela diri. Gambar-gambar itu juga punya dosa. Tepatnya, pemilik gambar itu. Eh, siapa yang punya ya ? Tahu-tahu ada di balik buku-bukuku. Siapa yang menaruh di situ ? Ah, peduli amat. Akan kumusnahkan. Aku berjanji tidak akan mengulanginya lagi, tidak akan masturbasi lagi. Perasaan seperti ini masih terbawa sampai keesokkan harinya lagi. Sehingga kulewatkan kesempatan untuk meraba dada Mar seperti kemarin. Ia telah memberi lampu hijau untuk aku “tindaklanjuti”. Tapi aku lagi tak bersemangat. Masih ada rasa bersalah.

Hari berikutnya aku “harus” tegang lagi. Bukan karena Si Mar yang (menurutku) bersedia dijamah tubuhnya. Tapi lagi-lagi karena Si Putih molek itu, Tante Yani. Siang itu aku pulang agak awal, pelajaran terakhir bebas. Sebentar aku melayani Luki melempar-lempar bola di halaman, lalu masuk lewat garasi, seperti biasa. Hampir pingsan aku ketika membuka pintu menuju ruang keluarga. Tante berbaring terlentang, mukanya tertutupi majalah “Femina”, terdengar dengkur sangat halus dan teratur. Rupanya ketiduran sehabis membaca. Mengenakan baju-mandi seperti dulu tapi ini warna pink muda, rambut masih terbebat handuk. Agaknya habis keramas, membaca terus ketiduran. Model baju mandinya seperti yang warna putih itu, belah di depan dan hanya satu pengikat di pinggang. Jelas ia tak memakai kutang, kelihatan dari bentuk buah dadanya yang menjulang dan bulat, serta belahan dadanya seluruhnya terlihat sampai ke bulatan bawah buah itu. Sepasang buah bulat itu naik-turun mengikuti irama dengkurannya. Berikut inilah yang membuatku hampir pingsan. Kaki kirinya tertekuk, lututnya ke atas, sehingga belahan bawah baju-mandi itu terbuang ke samping, memberiku “pelajaran” baru tentang tubuh wanita, khususnya milik Tante. Tak ada celana dalam di sana.

Tanteku ternyata punya bulu lebat. Tumbuh menyelimuti hampir seluruh “segitiga terbalik”. Berwarna hitam legam, halus dan mengkilat, tebal di tengah menipis di pinggir-pinggirnya. “Arah” tumbuhnya seolah diatur, dari tengah ke arah pinggir sedikit ke bawah kanan dan kiri.

Berbeda dengan yang di gambar, rambut Tante yang di sini lurus, tak keriting. Wow, sungguh “karya seni” yang indah sekali! Kelaminku tegang luar biasa. Aku lihat sekeliling. Si Tinah sedang bermain dengan anak asuhnya di halaman depan. Si Mar di belakang, mungkin sedang menyetrika. Kalau Tante sedang di ruang ini, biasanya Si Mar tidak kesini, kecuali kalau diminta Tante memijit. Aman!

Dengan wajah tertutup majalah aku jadi bebas meneliti kewanitaan Tante, kecuali kalau ia tiba-tiba terbangun. Tapi aku ‘kan waspada. Hampir tak bersuara kudekati milik Tante. Kini giliran bagian bawah rambut indah itu yang kecermati. Ada “daging berlipat”, ada benjolan kecil warna pink, tampaknya lebih menonjol dibanding milik bule itu. Dan di bawah benjolan itu ada “pintu”. Pintu itu demikian kecil, cukupkah punyaku masuk ke dalamnya ? Punyaku ? Enak saja! Memangnya lubang itu milikmu ? Bisa saja sekarang aku melepas celanaku, mengarahkan ujungnya ke situ, persis gambar pertama, mendorong, seperti gambar kedua, dan …Tiba-tiba Tante menggerakkan tangannya. Terbang semangatku. Kalau ada cermin di situ pasti aku bisa melihat wajahku yang pucat pasi. Dengkuran halus terdengar kembali. Untung., nyenyak benar tidurnya. Bagian atas baju-mandinya menjadi lebih terbuka karena gerakan tangannya tadi. Meski perasaanku tak karuan, tegang, berdebar, nafas sesak, tapi pikiranku masih waras untuk tidak membuka resleting celanaku. Bisa berantakan masa depanku. Aku “mencatat” beberapa perbedaan antara milik Tante dengan milik bule yang di majalah itu. Rambut, milik Tante hitam lurus, milik bule coklat keriting. Benjolan kecil, milik Tante lebih “panjang”, warna sama-sama pink. Pintu, milik Tante lebih kecil. Lengkaplah sudah aku mempelajari tubuh wanita. Utuhlah sudah aku mengamati seluruh tubuh Tante. Seluruhnya ? Ternyata tidak, yang belum pernah aku lihat sama sekali : puting susunya. Kenapa tidak sekarang ? Kesempatan terbuka di depan mata, lho! Mataku beralih ke atas, ke bukit yang bergerak naik-turun teratur. Dada kanannya makin lebar terbuka, ada garis tipis warna coklat muda di ujung kain. Itu adalah lingkaran kecil di tengah buah, hanya pinggirnya saja yang tampak. Aku merendahkan kepalaku mengintip, tetap saja putingnya tak kelihatan. Ya, hanya dengan sedikit menggeser tepi baju mandi itu ke samping, lengkaplah sudah “kurikulum” pelajaran anatomi tubuh Tante. Dengan amat sangat hati-hati tanganku menjangkau tepi kain itu. Mendadak aku ragu. Kalau Tante terbangun bagaimana ? Kuurungkan niatku. Tapi pelajaran tak selesai dong! Ayo, jangan bimbang, toh dia sedang tidur nyenyak. Ya, dengkurannya yang teratur menandakan ia tidur nyenyak. Kembali kuangkat tanganku. Kuusahakan jangan sampai kulitnya tersentuh. Kuangkat pelan tepi kain itu, dan sedikit demi sedikit kugeser ke samping. Macet, ada yang nyangkut rupanya. Angkat sedikit lagi, geser lagi. Kutunggu reaksinya. Masih mendengkur. Aman. Terbukalah sudah.. Puting itu berwarna merah jambu bersih. Berdiri tegak menjulang, bak mercusuar mini. Amboi . indahnya buah dada ini. Tak tahan aku ingin meremasnya. Jangan, bahaya. Aku harus cepat-cepat pergi dari sini. Bukan saja khawatir Tante terbangun, tapi takut aku tak mampu menahan diri, menubruk tubuh indah tergolek hampir telanjang bulat ini.

***

Aku jadi tak tenang. Berulang kali terbayang rambut-rambut halus kelamin dan puting merah jambu milik Tante itu. Apalagi menjelang tidur. Tanpa sadar aku mengusap-usap milikku yang tegang terus ini. Tapi aku segera ingat janjiku untuk tidak masturbasi lagi. Mendingan praktek langsung. Tapi dengan siapa ?

Hari ini aku pulang cepat. Masih ada dua mata pelajaran sebetulnya, aku membolos, sekali-kali. Toh banyak juga kawanku yang begitu. Percuma di kelas aku tak bisa berkonsentrasi. Di garasi aku ketemu Tante yang siap-siap mau pergi senam. Dibalut baju senam yang ketat ini Tante jadi istimewa. Tubuhnya memang luar biasa. Dadanya membusung tegak ke depan, bagian pinggang menyempit ramping, ke bawah lagi melebar dengan pantat menonjol bulat ke belakang, ke bawah menyempit lagi. Sepasang paha yang nyaris bulat seperti batang pohon pinang, sepasang kaki yang panjang ramping. Walaupun tertutup rapat aku ngaceng juga. Lagi-lagi aku terrangsang. Diam-diam aku bangga, sebab di balik pakaian senam itu aku pernah melihatnya, hampir seluruhnya! Justru bagian tubuh yang penting-penting sudah seluruhnya kulihat tanpa ia tahu! Salah sendiri, teledor sih. Ah, salahku juga, buktinya kemarin aku menyingkap putingnya.

“Lho, kok udah pulang, To” sapanya ramah. Ah bibir itu juga menggoda.

“Iya Tante, ada pelajaran bebas” jawabku berbohong. Kubukakan pintu mobilnya. Sekilas terlihat belahan dadanya ketika ia memasuki mobil. Uih, dadanya serasa mau “meledak” karena ketatnya baju itu.

“Terima kasih” katanya. “Tante pergi dulu ya”. Mobilnya hilang dari pandanganku.

***

Selasai mandi hari sudah hampir gelap. Di ruang keluarga Tante sedang duduk di sofa nonton TV sendiri.

“Senamnya di mana Tante ?” Aku coba membuka percakapan. Aku memberanikan diri duduk di sofa yang sama sebelah kanannya.

“Dekat, di Tebet Timur Dalam”. Malam ini Tante mengenakan daster pendek tak berlengan, ada kancing-kancing di tengahnya, dari atas ke bawah.

“Tumben, kamu tidur siang”

“Iya Tante, tadi main voli di situ” jawabku tangkas.

“Kamu suka main voli ?”

“Di Kampung saya sering olah-raga Tante” Aku mulai berani memandangnya langsung, dari dekat lagi. Ih, bahu dan lengan atasnya putih banget!

“Pantesan badanmu bagus” Senang juga aku dipuji Tanteku yang rupawan ini.

“Ah, Kalau ini mungkin saya dari kecil kerja keras di kebun, Tante” Wow, buah putih itu mengintip di antara kancing pertama dan kedua di tengah dasternya. Ada yang bergerak di celanaku.

“Kerja apa di kebun ?”

“Mengolah tanah, menanam, memupuk, panen” Buah dada itu rasanya mau meledak keluar.

“Apa saja yang kamu tanam ?” tanyanya lagi sambil mengubah posisi duduknya, menyilangkan sebelah kakinya.

Kancing terakhir daster itu sudah terlepas. Waktu sebelah pahanya menaiki pahanya yang lain, ujung kain daster itu tidak “ikut”, jadi 70 % paha Tante tersuguh di depan mataku. Putih licin. Yang tadi bergerak di celanaku, berangsur membesar.

“Macam-macam tergantung musimnya, Tante. Kentang, jagung, tomat” Hampir saja aku ketahuan mataku memelototi pahanya.

“Kalau kamu mau makan, duluan aja”

“Nanti aja Tante, nunggu Oom” Aku memang belum lapar. Adikku mungkin yang “lapar”

“Oom tadi nelepon ada acara makan malam sama tamu dari Singapur, pulangnya malam”

“Saya belum lapar” jawabku supaya aku tidak kehilangan momen yang bagus ini.

“Kamu betah di sini ?” Ia membungkuk memijit-mijit kakinya. Betisnya itu…

“Kerasan sekali, Tante. Cuman saya banyak waktu luang Tante, biasa kerja di kampung, sih. Kalau ada yang bisa saya bantu Tante, saya siap”

“Ya, kamu biasakan dulu di sini, nanti Tante kasih tugas”

“Kenapa kakinya Tante ?” Sekedar ada alasan buat menikmati betisnya.

“Pegel, tadi senamnya habis-habisan”

Di antara kancing daster yang satu dengan kancing lainnya terdapat “celah”. Ada yang sempit, ada yang lebar, ada yang tertutup. Celah pertama, lebar karena busungan dadanya, menyuguhkan bagian kanan atas buah dada kiri. Celah kedua memperlihatkan kutang bagian bawah. Celah ketiga rapat, celah keempat tak begitu lebar, ada perutnya. Celah berikutnya walaupun sempit tapi cukup membuatku tahu kalau celana dalam Tante warna merah jambu. Ke bawah lagi ada sedikit paha atas dan terakhir, ya yang kancingnya lepas tadi.

“Mau bantu Tante sekarang ?”

“Kapan saja saya siap”

“Betul ?”

“Kewajiban saya, Tante. Masa numpang di sini engga kerja apa-apa”

“Pijit kaki Tante, mau ?”

Hah ? Aku tak menyangka diberi tugas mendebarkan ini

“Biasanya sama Si Mar, tapi dia lagi engga ada”

“Tapi saya engga bisa mijit Tante, cuma sekali saya pernah mijit kaki teman yang keseleo karena main bola” Aku berharap ia jangan membatalkan perintahnya.

“Engga apa-apa. Tante ambil bantal dulu” Goyang pinggulnya itu…

Sekarang ia tengkurap di karpet. Hatiku bersorak. Aku mulai dari pergelangan kaki kirinya. Aah, halusnya kulit itu. Hampir seluruh tubuh Tante pernah kulihat, tapi baru inilah aku merasakan mulus kulitnya. Mataku ke betis lainnya mengamati bulu-bulu halus.

“Begini Tante, kurang keras engga ?”

“Cukup segitu aja, enak kok”

Tangan memijit, mata jelalatan. Lekukan pantat itu bulat menjulang, sampai di pinggang turun menukik, di punggung mendaki lagi. Indah. Kakinya sedikit membuka, memungkinkan mataku menerobos ke celah pahanya. Tanganku pindah ke betis kanannya aku menggeser dudukku ke tengah, dan..terobosan mataku ke celah paha sampai ke celana dalam merah jambu itu. Huuuh, sekarang aku betul-betul keras.

“Aah” teriaknya pelan ketika tanganku menjamah ke belakang lututnya.

“Maaf Tante”

“Engga apa-apa. Jangan di situ, sakit. Ke atas saja”

Ke Atas ? Berarti ke pahanya ? Apa tidak salah nih ? Jelas kok, perintahnya. Akupun ke paha belakangnya.

Ampuuun, halusnya paha itu. Kulit Tante memang istimewa. Kalau ada lalat hinggap di paha itu, mungkin tergelincir karena licin!

Aku mulai tak tenang. Nafas mulai tersengal, entah karena mijit atau terangsang, atau keduanya. Aku tak hanya memijit, terkadang mengelusnya, habis tak tahan. Tapi Tante diam saja.

Kedua paha yang diluar, yang tak tertutup daster selesai kupijit. Entah karena aku sudah “tinggi” atau aku mulai nakal, tanganku terus ke atas menerobos dasternya.

“Eeeh” desahnya pelan. Hanya mendesah, tidak protes!

Kedua tanganku ada di paha kirinya terus memijit. Kenyal, padat. Tepi dasternya dengan sendirinya terangkat karena gerakan pijitanku. Kini seluruh paha kirinya terbuka gamblang, bahkan sebagian pantatnya yang melambung itu tampak. Pindah ke paha kanan aku tak ragu-ragu lagi menyingkap dasternya.

“Enak To, kamu pintar juga memijit”

Aku hampir saja berkomentar :”Paha Tante indah sekali”. Untung aku masih bisa menahan diri. Terus memijit, sekali-kali mengelus.

“Ke atas lagi To” suaranya jadi serak.

Ini yang kuimpikan! Sudah lama aku ingin meremas pantat yang menonjol indah ke belakang itu, kini aku disuruh memijitnya! Dengan senang hati Tante!

Aku betul-betul meremas kedua gundukan itu, bukan memijit, dari luar daster tentunya. Dengan gemas malah! Keras dan padat.

Ah, Tante. Tante tidak tahu dengan begini justru menyiksa saya! kataku dalam hati. Rasanya aku ingin menubruk, menindihkan kelaminku yang keras ini ke dua gundukan itu. Pasti lebih nikmat dibandingkan ketika memeluk tubuh mbak Mar dari belakang.

“Ih, geli To. Udah ah, jangan di situ terus” ujarnya menggelinjang kegelian. Barusan aku memang meremas pinggir pinggulnya, dengan sengaja!

“Cape, To ?” tanyanya lagi.

“Sama sekali engga, Tante” jawabku cepat, khawatir saat menyenangkan ini berakhir.

“Bener nih ? Kalau masih mau terus, sekarang punggung, ya ?”. Aha, “daerah jamahan” baru!

Bahunya kanan dan kiri kupencet.

“Eeh” desahnya pelan.

Turun ke sekitar kedua tulang belikat. Lagi-lagi melenguh. Daster tak berlengan ini menampakkan keteknya yang licin tak berbulu. Rajin bercukur, mungkin. Ah, di bawah ketek itu ada pinggiran buah putih. Dada busungnya tergencet, jadi buah itu “terbuang” ke samping. Nakalku kambuh. Ketika beroperasi di bawah belikat, tanganku bergerak ke samping.

Jari-jariku menyentuh “tumpahan” buah itu. Tidak langsung sih, masih ada lapisan kain daster dan kutang, tapi kenyalnya buah itu terasa. Punggungnya sedikit berguncang, aku makin terangsang.

Ke bawah lagi, aku menelusuri pinggangnya.

“Cukup, To..” Kedua tangannya lurus ke atas. Ia tengkurap total. Nafasnya terengah-engah.

“Depannya Tante ?” usulku nakal. Lancang benar kau To. Tante sampai menoleh melihatku, kaget barangkali atas usulku yang berani itu.

“Kaki depannya ‘kan belum Tante” aku cepat-cepat meralat usulku. Takut dikiranya aku ingin memijit “depannya punggung” yang artinya buah dada!

“Boleh aja kalau kamu engga cape”. Ya jelas engga dong! Tante berbalik terlentang. Sekejap aku sempat menangkap guncangan dadanya ketika ia berbalik. Wow! Guncangan tadi menunjukkan “eksistensi” kemolekkan buah dadanya! Aduuh, bagaimana aku bisa bertahan nih ? Tubuh molek terlentang dekat di depanku. Ia cepat menarik dasternya ke bawah, sebagai reaksi atas mataku yang menatap ujung celana dalamnya yang tiba-tiba terbuka, karena gerakan berbalik tadi. Silakan ditutup saja Tante, toh aku sudah tahu apa yang ada dibaliknya, rambut-rambut halus agak lurus, hitam, mengkilat, dan lebat. Lagi pula aku masih bisa menikmati “sisanya”: sepasang paha dan kaki indah! Aku mulai memijit tulang keringnya. Singkat saja karena aku ingin cepat-cepat sampai ke atas, ke paha.

Lutut aku lompati, takut kalau ia kesakitan, langsung ke atas lutut, kuremas dengan gemas.

“Iih, geli”. Aku tak peduli, terus meremas. Paha selesai, untuk mencapai paha atas aku ragu-ragu, disingkap atau jangan. Singkap ? Jangan! Ada akal, diurut saja. Mulai dari lutut tanganku mengurut ke atas, menerobos daster sampai pangkal paha.

“Aaaah, Tooo ….” Biar saja. Kulihat wajahnya, matanya terpejam. Aku makin bebas.

Dengan sendirinya tepi daster itu terangkat karena terdorong tanganku. Samar-samar ada bayangan hitam di celana dalam tipis itu. Jelas rambut-rambut itu. Ke bawah lagi, urut lagi ke atas. Aaah lagi. Dengan cara begini, sah-sah saja kalau jempol tanganku menyentuh selangkangannya. Sepertinya basah di sana. Ah masak. Coba ulangi lagi untuk meyakinkan. Urut lagi. Ya, betul, basah! Kenapa basah ? Ngompol ? Aku tidak mengerti.

“To …” panggilnya tiba-tiba. Aku memandangnya, kedua tanganku berhenti di pangkal pahanya. Matanya sayu menantang mataku, nafasnya memburu, dadanya naik-turun.

“Ya, Tante” mendadak suaraku serak. Dia tak menyahut, matanya tetap memandangiku, setengah tertutup. Ada apa nih ? Apakah Tante ….. ? Ah, mana mungkin. Kalau Tante terrangsang, mungkin saja, tapi kalau mengajak ? Jangan terlalu berharap, To!

Aku meneruskan pekerjaanku. Kini tak memijit lagi, tapi menelusuri lengkungan pinggulnya yang indah itu, membelai. Habis tak tahan.

“Uuuuh” desahnya lagi menanggapi kenakalanku. Keterlaluan aku sekarang, kedua tanganku ada di balik dasternya, mengelus mengikuti lengkungan samping pinggul.

“Too …. ” panggilnya lagi. Kulepas tanganku, kudekati wajahnya dengan merangkak di atas tubuhnya bertumpu pada kedua lutut dan telapak tanganku, tidak menindihnya.

“Ada apa, Tante” panggilku mesra. Mukaku sudah dekat dengan wajahnya.

Matanya kemudian terpejam, mulut setengah terbuka. Ini sih ajakan. Aku nekat, sudah kepalang, kucium bibir Tante perlahan.

“Ehhmmmm” Tante tidak menolak, bahkan menyambut ciumanku. Tangan kirinya memeluk punggungku dan tangan kanannya di belakang kepalaku. Nafasnya terdengar memburu. Aku tidak lagi bertumpu pada lututku, tubuhku menindih tubuhnya. Menekan. Ia membuka kakinya. Aku menggeser tubuhku sehingga tepat di antara pahanya yang baru saja ia buka. Kelaminku yang keras tepat menindih selangkangannya. Kutekan. Nikmatnya!

“Ehhhmmmmmm” reaksinya atas aksiku.

Kami saling bermain lidah. Sedapnya!

Aku terengah-engah.

Dia tersengal-sengal.

Tangan kananku meremas dada kirinya. Besar, padat, dan kenyal! Ooooohhhh, aku melayang.

He!, ini Tantemu, isteri Oommu!

Iya, benar. Memangnya kenapa.

Mengapa kamu cium, kamu remas dadanya.

Habis enak, dan ia tak menolak.

Dua kancing dasternya telah kulepas, tanganku menyusup ke balik kutangnya.

Selain besar, padat, dan kenyal, ternyata juga halus dan hangat!

Tiba-tiba Tante melepas ciumanku.

“Jangan di sini, To” katanya terputus-putus oleh nafasnya.

Tanpa menjawab aku mengangkat tubuhnya, kubopong ia ke kamarnya. “Uuuuuhhh” lenguhnya lagi.

“Ke kamarmu saja”

Sebelum sampai ke dipanku, Tante minta turun. Berdiri di samping dipan. Aku memeluknya, dia menahan dadaku.

“Kunci dulu pintunya” Okey, beres.

Kulepas seluruh kancingnya, dasternya jatuh ke lantai. Tinggal kutang dan celana dalam. Buah dada itu serasa mau meledak mendesak kutangnya!

Kupeluk lagi dia. Dadanya merapat di dadaku.

“Tooo, hhehhhhhhh” katanya gemas seperti menahan sesuatu.

Kami berciuman lagi. Main lidah lagi.

Tangannya menyusup ke celanaku, meremas-remas kelaminku di balik celana.

“Eehhmmmmmm” dengusnya

Dengan kesulitan ia membuka ikat pinggangku, membuka resleting celanaku, merogoh celana dalamku, dan mengeluarkan “isinya”

“Eehhh” Ia melepas ciuman, melihat ke bawah.

“Ada apa Tante” Tanyaku disela-sela dengus nafasku.

“Besar sekali”

Ia mempermainkan penisku. Menggenggam, meremas.

Geli, geliii sekali.

Stop Tante, jangan sampai keluar. Aku ingin pengalaman baru, Tante. Ingin memasuki kelaminmu..sekarang!

Kutarik tangannya dari penisku. Untung Tante menurut. Aku tak jadi “keluar”

Kulepas tali kutangnya, tapi yang belakang susah dilepas. Tante membantu. Buah dada itu terbuka. Wow.luar biasa indahnya. Belum sempat aku menikmat buah itu, Tante memelukku. Meraih tangan kananku, dituntunnya menyelip ke celana dalamnya. Dibawah rambut-rambut itu terasa basah. Diajarinya aku bagaimana jariku harus bermain di sana : menggesek-gesek antara benjolan dan pintu basah itu.

“Uuuuuuhhhhhh, Tooo..”

Dilepasnya bajuku, singletku, celanaku luar dalam. Aku telanjang bulat. Kutarik juga celana dalamnya. Ia telanjang bulat juga. Luar biasa. Pinggang itu ramping, perut itu rata, ke bawah melebar lengkungannya indah. Rambut-rambut halus itu menggemaskan, diapit oleh sepasang paha yang nyaris bulat. Seluruhnya dibalut kulit yang putih dan mulusnya bukan main!.

Ditariknya aku ke dipan. Ia merebahkan diri. Kakinya ditekuk lalu dibuka lebar. Dipegangnya kelaminku, ditariknya, ditempelkannya di selangkangan. Rasanya terlalu ke bawah. Ah, dia ‘kan yang lebih tahu. Aku nurut saja. Tangannya pindah ke pantatku. Ditariknya aku mendekat tubuhnya. Sesuatu yang hangat terasa di ujung penisku.

Tangannya memegang penisku lagi. Belum masuk ternyata. Disapu-sapukannya kepala penisku di pintu itu. Sementara ia menggoyang pantatnya. Geliii, Tante. Aku manut saja seperti kerbau dicucuk hidung. Memang belum pengalaman! Didorongnya lagi pantatku. Meleset!

Pernah kupikir waktu pertama kali aku melihat kelamin Tante beberapa hari lalu, mana cukup lubang sesempit itu menampung kelaminku yang lagi tegang ?

Tante membuka pahanya lebih lebar lagi, mengarahkan penisku lagi, dan aku sekarang yang mendorong. Kepalanya sudah separoh tenggelam, tapi macet!

“Kelaminmu besar, sih!”keluhnya. Padahal barusan ia mengaguminya.

Ia menggoyang pantatnya dan…bless. Masuk separoh.

“Aaaaahhh” teriak kami berbarengan. Terasa ada sesuatu yang menjepit penisku, hangat, enak!

Pantatnya bergoyang lagi, tumitnya mendorong pantatku.

Blesss..masuk lagi. Makin hangat, makin sedap, dan geli.

Goyang lagi, aku dorong sekarang. Masuk semuanya

Seedaaaaaaaaap!

Tante bergoyang.

Nikmaaaaaaaat!

Tante menjepit.

Geliiiiiiiiiiiiiiii!

Kutarik pelan. Terasa gesekan, enak. Ya, digesek begini enak. Tarik sedikit lagi, dan kudorong lagi.

“Idiiiiiiiiiiih, sedaaaaapp Too” Tante berteriak, agak keras.

Geli di ujung sana. Tariik, dorooong

Makin geli..

Geli sekali…

Tak tahaaaaaann…

“Tahan dulu, To”

Tak mungkin, sudah geli sekali.lalu..

Aku melambung, melayang, melepas..

“Aaaaaahhhhhhh” teriakku. Nikmatnya sampai ke ubun-ubun.

Mengejang, melepas lagi, berdenyut, enak, melepas lagi, nikmat sekali..!

“Genjot lagi, To” teriaknya

Mana bisa.

“Ayo, To”

Aku sudah selesai!

Tante masih menggoyang

Aku ikut saja, pasif

“Tooooo, ..”

Tante gelisah, goyangnya tak kubalas. Aku sudah selesai!

“Eeeeeeeeehh” keluhnya, sepertinya kecewa.

Bergerak-gerak tak karuan, menendang, menggeliat, gelisah..

Penisku mulai menurun, di dalam sana.

Tante berangsur diam, lalu sama sekali diam, kecewa.

Tinggal aku yang bingung.

Beberapa menit yang lalu aku mengalami peristiwa yang luar biasa, yang baru kali ini aku melakukan. Baru kali ini pula aku merasakan kenikmatan yang luar biasa. Kenikmatan berhubungan kelamin.

Nikmatnya susah digambarkan.

Hubungan kelamin antara pria yang mulai menginjak dewasa dengan wanita dewasa muda.

Sama-sama diinginkan oleh keduanya.

Keduanya yang memulai.

Berdua pula yang melanjutkan, keterusan dan…kepuasan.

Kepuasan ? Aku memang puas sekali, tapi Tante ?

Itulah masalahnya sekarang.

Aku menangkap wajah kecewa pada Tante.

Perilakunya yang gelisah juga menandakan itu.

Aku jadi merasa bersalah. Aku egois.

Aku mendapatkan kenikmatan luar biasa sementara aku tak mampu memberi kepuasan kepada “lawan mainku”, Tante Yani.

Terlihat tadi, ia ingin terus sementara aku sudah selesai.

Aku bingung bagaimana mengatasi kebisuan ini.

Aku masih menindih tubuhnya. Penisku masih di dalam.

Buah dadanya masih terasa kencang mengganjal dadaku.

Pandangannya lurus ke atas melihat plafon.

Aku harus ambil inisiatif.

Kucium pipinya mesra, penuh perasaan.

“Maafkan saya, Tante”

Tante menoleh, tersenyum dan balas mencium pipiku.

Sementara aku agak lega, Tante tak marah.

“Kamu engga perlu minta maaf, To”

“Harus Tante, saya tadi nikmat sekali, sebaliknya Tante belum merasakan. Saya engga mampu, Tante. Saya belum pengalaman Tante. Baru kali ini saya melakukan itu”

“Betul ? Baru pertama kamu melakukan ?”

“Sungguh Tante”

“Engga apa-apa, To. Tante bisa mengerti. Kamu bukannya tidak mampu. Hanya karena belum biasa saja. Syukurlah kalau kamu tadi bisa menikmati”

“Nikmaaat sekali, Tante”

Tante diam lagi, mengelus-elus punggungku. Nyaman sekali aku seperti ini.

“To ” panggilnya.

“Ya, Tante”

“Ini rahasia kita berdua saja ya ? Tante minta kamu jangan katakan hal ini pada siapapun”

“Tentu Tante, tadinya sayapun mau bilang begitu” Tiba-tiba aku ingat sesuatu. Mendadak aku jadi cemas.

“Tante ”

“Hhmm”

“Gimana kalau Tante nanti ..” Aku tak berani meneruskan.

“Nanti apa ?”

“Akibat perbuatan tadi, lalu Tante ..”

“Hamil ?” potongnya.

“Ya ”

“Engga usah kamu pikirkan. Tante sudah jaga-jaga”

“Saya engga mengerti Tante”

“To, lain kali saja ya Tante jelasin. Sekarang Tante harus mandi, Oommu ‘kan sebentar lagi datang”

Ah, celaka. Sampai lupa waktu. Aku bangkit hendak mencabut.

“Pelan-pelan To” katanya sambil menyeringai, lalu matanya terpejam

“Eeeeeehhh” desahnya hampir tak terdengar, ketika aku mencabut kelaminku.

Kubantu ia mengenakan kutangnya. Buah dada itu belum sempat aku nikmati. Lain kali pasti!

“Tante ” aku memanggil ketika ia sudah rapi kembali.

Kupeluk ia erat sekali, kubisikkan di dekat kupingnya

“Terima kasih, Tante” lalu kucium pipinya.

“Ya ” jawabnya singkat.

“Sana mandi, cuci yang bersih niih” katanya lagi sambil menggenggam penisku waktu bilang ‘niih’

Ooohhh, nikmatnya hari ini aku.

Malam ini pertama kali aku ciuman dengan nikmat, pacaran sampai “keterusan”. Pertama kali penisku memasuki kelamin wanita. Pertama kali aku menumpahkan “air” ku ke dalam tubuh wanita, tidak ke perut atau ke lantai.

Lebih istimewa lagi, wanita itu adalah Tante Yani.

Wanita dengan tubuh yang luar biasa.

Bentuknya, potongannya, halusnya, padatnya, putihnya, bulunya…..

Padahal wanita itu sudah 26 tahun, sepuluh tahun di atas usiaku. Tapi lebih padat dari Si Ani yang 17 tahun, lebih manis dari Si Yuli yang sepantaranku, lebih indah dari Si Rika yang seumurku.

Yang masih mengganjal, wanita itu Tanteku, isteri Oom Ton. Ya, aku meniduri isteri Oomku! Aku mendapatkan pengalaman baru dari isterinya! Aku memperoleh kenikmatan dari meniduri isterinya. Isteri orang yang membiayai sekolahku, yang memberiku makan dan tempat tinggal!

Betapa jahatnya aku. Betapa kurangajarnya aku.

Aku sekarang jadi pengkhianat!

Mengkhianati adik misan ayahku!

Tapi, keliru kalau semua kesalahan ditimpakan kepadaku.

Siapa yang menyuruh memijat ?

Okey, seharusnya memijat saja, kenapa pakai mengelus ?

Pakai meremas pantat ? Habis, siapa yang tahan ? Aku masih 16 tahun, masih sangat muda, tapi sudah matang secara seksual, mudah terrangsang.

Tante sendiri, kenapa tidak menolak ? Bisa saja ia menempelengku ketika aku mau mencium bibirnya di karpet itu. Bisa saja ia menolak waktu aku membopongnya ke kamarku. Dan aku, bisa saja memberontak waktu ia merogoh celana dalamku, waktu ia menggenggam kelaminku dan diarahkan ke kelaminnya….

Kesimpulannya : salah kami berdua!

Tapi, aku ingin mengulangi ……….!

***

Paginya, kami sarapan bertiga, Aku, Oom, dan Tante. Aku jadi tidak berani menatap mata Oom waktu kami berbicara. Mungkin karena ada perasaan bersalah. Sedangkan Tante, biasa-biasa saja. Sikapnya kepadaku wajar, seolah tak terjadi apa-apa. Tak ada pembicaraan penting waktu makan.

Tante bangkit menuangkan minuman buat Oom. Kupandangi tubuhnya. Aku jadi ingat peristiwa semalam. Rasanya aku tak percaya, tubuh yang ada di depanku ini, yang sekarang tertutup rapat, sudah pernah aku tiduri. Aku ngaceng lagi..

Susah sekali aku berkonsentrasi menerima pelajaran hari ini. Pikiranku ke rumah terus, ke Tante. Bagaimana ia “menuntunku” masuk. Bagaimana aku mulai belajar “menggesek”, terus keenakkan. Aku ingin lagi…!

Tante bagaimana ya, apakah ia ingin lagi ? Aku meragukannya, mengingat semalam ia tidak puas. Jangan-jangan ia kapok. Tadi pagi sikapnya biasa saja. Mestinya sedikit lebih mesra kepadaku. Memangnya kamu ini siapa.

Lebih baik begitu, wajar saja, ‘kan ada suaminya.

***

Dua hari kemudian ketika aku pulang sekolah, kulihat ada mobil Oom di garasi. Apakah Oom Ton tak ke kantor hari ini ? Atau jangan-jangan Oom tahu kalau aku ..

Ah, jangan berpikir begitu. Dua hari terakhir ini sikap Oom kepadaku tak ada perubahan apa-apa. Sikap Tante juga wajar-wajar saja. Justru aku yang kelimpungan. Bayangkan. Setiap hari ketemu Tante. Aku selalu membayangkan “dalam”-nya, walau pakaian Tante tertutup rapat. Lalu, terbayang, aku sudah pernah menjamah tubuh itu, dan terangsang lagi.

Selama dua hari ini aku betul-betul tersiksa. Terlihat paha Tante yang sedikit tersingkap saja, aku langsung “naik”. Ooh..! Aku ingin lagiiiiii.

Siang ini aku makan sendirian. Kamar Tante tertutup rapat. Oom pasti ada di dalam, mobilnya ada. Tante juga tentunya. Mungkin mereka sedang …? Siang-siang ? Biar saja, toh suami-isteri. Sekejap ada rasa tak nyaman. Tanteku sedang ditiduri suaminya…! Aku iri! Memangnya kamu siapa ?

Baru saja aku selesai menyantap sendok terakhir makananku, kemudian mengangkat gelas, ketika tiba-tiba pintu kamar terbuka, Tante keluar, mengenakan baju tidur. Aku terpana. Tanganku yang sedang memegang gelas berhenti, belum sempat minum, terpesona oleh Tante dengan baju tidurnya. Kelihatan ia baru bangun tidur, melihatku.

“Sudah pulang, To”

“Udah dari tadi Tante”

Ia tutup pintu kamarnya kembali lalu mendekatiku, dan tiba-tiba mencium pipiku erat, lenganku merasakan lembutnya sesuatu yang menandakan Tante tak memakai kutang.

Hampir saja aku menumpahkan air minum karena kaget.

“Ada kabar gembira.”katanya berbisik. Sebelum aku berreaksi atas aksinya itu, Tante sudah beranjak ke belakang meninggalkanku.

Aku jadi penasaran. Penasaran pada benda lembut yang mendesak lenganku tadi, serta pada kabar gembira apa ?

Ketika Ia kembali lagi, aku berdiri untuk memuaskan rasa penasaran tadi.

Tante menempelkan telunjuknya ke mulut sambil matanya melirik ke kamar. Aku mengerti isyarat ini. Jangan ganggu, ada suaminya.

Sejam kemudian kulihat Oom Ton duduk di sofa ruang tengah bersama Tante. Oom Ton berpakaian rapi berdasi, seperti hendak ke kantor, sedangkan Tante mengenakan daster pendek tak berlengan berkancing tengah, daster kesukaanku. Terlihat segar, baru saja mandi, mungkin.

“Tarto” Oom Ton memanggilku.

“Ya, Oom”

“Oom mau ke Bandung, dua hari. Kamu jaga rumah ya ?”

Ini rupanya kabar gembira itu!

“Baik, Oom, kapan Oom berangkat ?”

“Sebentar lagi, jam tiga”

Dua hari Oom tak ada di rumah, tentunya dua malam juga. Dua malam aku menjaga rumah, bersama Tante.

Dua malam bersama Tante ? Bukan main!. Eit, jangan berharap dulu, ya. ‘Kan tadi Ia bilang kabar gembira ?

Kok kamu yakin kabar gembiranya Tante adalah karena Oom ke Bandung ? Jangan sok pasti ya!

Aku melirik Tante, Ia biasa-biasa saja.

Pak Dadan datang membawa tas di bahunya, masuk garasi menghidupkan mesin mobil.

“Papa berangkat ya, Ma”

“Ya, Pa, hati-hati di jalan, ya ?”

“Mama juga hati-hati di rumah”

Oom mencium pipi Tante, lalu menciumi Si Luki.

“Jaga baik-baik, ya To”

“Ya, Oom”

Seisi rumah mengantar Oom sampai depan pintu pagar, melambai sampai mobilnya berbelok ke jalan Tebet Timur Raya.

Semuanya masuk ke rumah kembali. Hatiku bersorak. Dadaku penuh berharap dan kepalaku penuh rencana.

Luki dibawa pengasuhnya ke rumah sebelah. Mbak meneruskan pekerjaannya di belakang. Aman. Tinggal aku dan Tante. Kuberanikan diriku. Kupeluk Tante dari belakang. Betul ‘kan, Tante tak memakai kutang. Wah, sudah lama sekali aku tak menyentuhnya.

Tante sedikit kaget, lalu berbalik membalas pelukanku. Cuma sebentar, melepaskan diri.

“Sabar, dong To”

“Tante …” Serak suaraku.

“Nanti malam saja ”

Aha, rencana di kepalaku bisa terlaksana malam ini.

Kami duduk berdampingan di sofa, sedikit berjarak. Aku nonton TV, Tante membaca.

Aku tak tahan lagi, penisku sudah tegang dari tadi. Sekarang baru jam setengah empat sore. Berapa jam lagi aku mesti menunggu ? Oh, lama sekali.

Tante, tolonglah aku. Aku tak sanggup lagi menunggu.

Kulihat sekeliling meyakinkan situasi. Luki masih sama si Tinah di tetangga. Mbak Mar menyetrika di belakang. Aman!

Kupegang tangan Tante yang sedang ada di pahanya. Dengan begini aku bisa meremas-remas tangannya sambil merasakan lembutnya paha. Ia sesekali membalas remasanku, tetap membaca.

Ditariknya tangannya untuk membuka halaman buku bacaannya, tanganku “tertinggal” di pahanya. Kesempatan.

Kuusap lembut pahanya. Paha itu masih seperti yang kemarin, padat, kenyal, halus, berbulu lembut. Masih tetap membaca.

Aku makin berani, tanganku bergerak ke atas menyusup dasternya. Kuusap celana dalamnya. Nafasnya mulai terdengar meningkat “volume”nya.

Diletakkannya buku itu sambil menghela nafas panjang.

“To., kamu engga sabaran, ya ?” katanya sambil memegang tanganku di bawah sana.

“Maafkan saya Tante, saya.. saya ..engga kuat lagi Tante, saya ingin lagi, Tante” Kataku terputus-putus menahan birahi yang mendesak. Kelaminku juga mendesak.

“Masih sore, To”

“Tolonglah., Tante, saya membayangkan terus setiap ..hari” kataku setengah memohon. Aku yakin Tantepun sebenarnya telah terangsang, terlihat dari nafasnya dan aku merasakan basah di celananya. Aku sudah sampai pada titik yang tak mungkin surut kembali. Situasi sekeliling aman. Jadi, apa lagi selain berlanjut ?

“Saya mohon, Tante” kini aku betul-betul memohon.

Ditariknya tanganku dari paha, lalu dituntun ke dadanya. Permohonanku diterima.

Kuremas buah dada itu yang hanya ditutupi selembar kain daster.

“Eeeeeeehhh” desahnya.

Tiga hari lalu, waktu aku pertama kali meniduri Tante (memang baru pertama kali aku berhubungan sex), aku belum sempat menikmati buah dada ini. Waktu itu kami sudah sama-sama terangsang sehabis aku memijatnya. Aku baru sempat meremasnya, itupun dibalik kutang. Lalu ketika kutangnya sudah terbuka, Tante sudah keburu menuntun kelaminku memasukinya.

Sekaranglah kesempatan untuk menikmati dada itu.

Kubuka kancing dasternya, satu, dua, tiga.

Dada itu mengagumkan.

Putih, besar, menonjol, bulat, bergerak maju mundur seirama nafasnya, putingnya kecil agak panjang tegak lurus ke depan berwarna merah jambu.

Aku berlutut di depannya, kusingkirkan daster itu, kucium belahan dadanya yang seperti parit kecil di antara dua bukit.

Halusnya buah itu dapat kurasakan di kedua belah pipiku.

Mulutku bergerak ke kiri, ke dada bagian atas, terus turun, kutelusuri permukaan bukit halus itu dengan bibir dan lidahku. Sementara tangan kananku mengusapi buah kirinya. Luar biasa, kulit itu haluuus sekali! Tangannya mengusap-usap belakang kepalaku. Penelusuranku berakhir di puncaknya. Kumasukkan putting itu kemulutku, kukemot.

“Aaaaaaaahhh” lenguhnya pelan sekali.

Tangannya menekan kepalaku.

Kukemot lagi, kuhisap, kupermainkan dengan lidahku, putting itu mengeras. Puting satunya lagi juga mengeras, terasa di antara telunjuk dan ibujari tangan kananku.

Ada kesamaan gerak antara mulut dan tangan kananku. Kalau mulutku mengulum puting, jari-jariku memilin puting sebelahnya. Bila bibir dan lidahku merambahi seluruh permukaan buah yang sangat halus itu, telapak tanganku merambah pula. Seluruh permukaan dada itu demikian halus, sehingga ada sedikit yang tak halus di sebelah puting agak ke bawah menarik perhatianku.

Kulepaskan muluku dari dadanya, ingin memeriksa. Di sebelah puting dada kiri Tante ada bercak merah. Kuperhatikan dan kuraba. Seperti bekas gigitan. Oh. Aku ingat tadi siang waktu makan. Ini pasti “hasil kerja” Oom Ton di kamar yang terkunci tadi..

Akupun ingin. Betapa enaknya menggigit buah kenyal ini.

Dada kanan bagianku. Kucium puting itu kembali, geser sedikit, aku mulai menggigit.

Tiba-tiba Tante mendorong kepalaku.

“Jangan, To. Kamu..mikir, dong” katanya sambil terengah-engah.

Ah, bodohnya aku. Kalau kugigit tentu nanti berbekas, jelas pemilik sahnya, Oom Ton, akan curiga!

“Maafkan saya Tante, habis gemas sih.”

“Yahhh.engga apa-apa. Kamu harus ingat, ini rahasia kita saja”

Dipegangnya dadanya sendiri lalu disodorkannya ke mulutku. Gantian, sekarang dada kiri dengan mulutku, yang kanan dengan tangan kiriku….

Sudah saatnya untuk pindah ke kamar.

Aku bangkit berdiri. Tante masih tergolek duduk. Kancing tengah dasternya sudah semuanya terlepas, menyibak kesamping, tinggal celana dalamnya saja. Dada itu rasanya makin besar saja.

Kutarik kedua tangan Tante, tapi ia melepaskannya. Dibukanya gesperku, lalu kancing celanaku, dan ditariknya resleting dan celana dalamku. Penisku yang tegang itu keluar dengan gagahnya persis di depan mukanya.

“Uuuuuuuuuhhhh” Tante melenguh pelan memegang kelaminku, dielusnya.

“Kok besar sekali sih To, punyamu ini”

Kuraih badannya, kubimbing ia ke kamarku sambil masih memegang senjataku, tertatih-tatih kami berdua.

Kukunci pintu kamarku, kurebahkan Tante perlahan di dipanku, kulucuti pakaianku, dengan bertelanjang bulat kudekati Tante.

Dengan perlahan kupelorotkan celana merah jambu itu. Kembali aku bertemu dengan rambut halus hitam mengkilat itu. Ada cairan bening di sana. Kutindih tubuhnya lalu kakinya menjepit tubuhku. Kamipun berciuman, saling menggigit lidah. Lalu akupun tak tahan lagi.

Aku bangkit. Kubuka kakinya lebar. Lubang sempit itu terbuka sedikit, merah. Sekarang aku tak perlu dituntun lagi. Aku sudah tahu. Kutempelkan kepala penisku ke lubang sempit itu, lalu kudorong hati-hati.

“Aaaaaaaaaaahhhhh, To, sedaaaaaap”

Kepalanya sudah masuk. Nikmaaaaaaaaaat!

Aku heran, lubang sesempit itu bisa “menelan” kepala penis besarku. Kenapa kupikirkan ? Yang penting enak.

Sambil memegangi kedua belah dadanya, aku mendorong lagi. Enak-enak geli atau geli-geli enak. Entah mana yang benar. Kudorong lagi, Aaah lagi, enak lagi, geli lagi.

Lagi kudorong, sampai habis, sampai mentok.

“Idiiiiiiiiiiiiih, Toooo, enak sekali”

Nyaman, sudah didalam seluruhnya.

Pinggul Tante mulai berputar. Aku tahu tugasku, menarik dan mendorong. Mulut Tante mengeluarkan bunyi-bunyian setiap aku mendorong. Melenguh, mendesah, kadang menjerit kecil, atau kata-kata yang tak bermakna.

Kejadian tiga hari lalu berulang. Baru beberapa kali “tusuk” aku sudah merasakan geli luar biasa. Nampaknya aku tak mampu menahan lagi. Ah, kenapa begini ? Aku tak bisa tahan lama. Aku cemas jangan-jangan Tante nanti kecewa lagi. Tapi bagaimana lagi, aku sudah hampir tiba di puncak.

Aku coba berhenti bergerak sambil menahan agar jangan sampai keluar dulu, persis kalau aku menahan kencing. Tapi begitu aku diam, pantat Tante langsung berputar. Seluruh bagian tubuh yang di dalam sana memeras-meras kelaminku. Oh, aku tak akan berhasil menahan diri. Langsung saja aku bergerak lagi, makin cepat malah. Ocehan Tantepun makin ngawur.

Aku jadi cepat, makin cepat dan semakin cepat, lalu ……. badanku bergetar hebat, mengejang, berulang, memuntahkan, mengejang lagi, muntah lagi…

Tante berhenti berputar, lalu menjepit kakiku, menerima pelepasanku.

Rasanya aku mengeluarkan banyak sekali

Lalu akupun ambruk di atas tubuh Tante.

Aku selesai. Selesai menggetar, selesai mengejang, selesai melepas, selesai semuanya. Tanteku selesai terpaksa. Aku yakin ia kecewa lagi.

“Tante, gimana Tante, saya engga bisa menahan lagi …”

“Hmmm, To”

“Maafkan lagi saya, Tante. Saya gagal”

“Sudahlah, To”

“Saya hanya memuaskan diri sendiri”

“Tante bilang sudahlah, kamu lumayan tadi”

“Lumayan gimana Tante ?”

“Ada kemajuan dibanding yang lalu. Tante merasa enak, tadi”

“Tante bohong! Tante cuma menghibur saya”

“Benar, To. Memang Tante merasa belum “tuntas”, tapi kocokanmu tadi bisa Tante nikmati”. Aku agak tenteram.

“Ini karena kamu belum biasa, To. Tante yakin, lama-lama kamu akan mampu. Barangmu kerasnya luar biasa”

“Gimana caranya supaya saya bisa lama, Tante ?’

“Nanti kamu akan tahu sendiri”

“Ajarin saya ya, Tante”

Tante tak menjawab. Akupun berdiam diri. Lama kami berdua membisu.

Tante melihat jam, pukul empat sore, lalu bangkit mencari-cari pakaiannya yang berserakan.

“Tante mandi dulu, ya ?”

Aku membantunya berpakaian.

Merapikan karet celana dalamnya, mengkaitkan kutangnya, mengancingkan dasternya. Ada sesuatu yang lain kurasakan. Aku merasa demikian “mesra” membantunya berpakaian. Aku serasa membantu isteriku!

Ya, barusan aku merasa meniduri isteriku.

Kupeluk Tante erat sekali, agak lama. Lalu kucium pipinya dalam-dalam.

“Tante”

“Apa, To ?”

“Tarto sayang Tante” kataku tiba-tiba.

Dipandangnya mataku lurus-lurus.

“Apa maksudmu To”

“Engga tahu Tante, pokoknya saya sayang sama Tante. Tante jangan kapok, ya ? Tarto ingin kita terus begini”

“Oh, itu maksudmu. Asal kamu bisa jaga rahasia”

“Bisa, Tante”

“Juga harus hati-hati”

“Iya,Tante”

Tanpa kusadari, penisku bangun lagi.

“Sudah, mandi sana” Tante ke luar kamarku

***

Malam itu aku nonton TV sendirian. Tante ada di kamarnya, tertutup. Aku kesepian. Aku mengharapkan Tante akan ke luar dari kamar menemaniku di sini. Kemudian aku mendekatinya, lalu ciuman, raba-raba, dan …diakhiri dengan hubungan suami-isteri.

Heran aku, baru tadi sore aku dipuaskan oleh Tante di kamarku, malam ini aku ingin lagi! Aku ingin kenikmatan itu lagi. Aku tetap menunggu.

Jam 9 malam. Tante belum juga muncul.

Pukul 9.30, tidak juga.

Kemarilah Tante, aku merindukanmu.

Malam ini adalah malam pertama Oom tak ada di rumah. Ayolah Tante, ini kesempatan yang tak boleh dilewatkan.

Atau kuketuk saja pintunya, lalu aku masuk ?

Ah jangan. Itu kurang ajar, namanya.

Tubuh indah itu sendirian di kamar.

Buah dada putih itu tak ada yang mengelusnya.

Kelamin berambut halus itu tak ada yang memasukinya malam ini.

Kenapa engkau tidak ke luar ?

Barangkali Tante memang tidak membutuhkannya. Paling tidak malam ini.

Ya, kalau ia butuh tentunya akan mendekatiku.

Jam 10, belum ada tanda-tanda.

Aku putuskan, malam ini memang Tante tak mau diganggu. Biar sajalah. Toh besok siang, sore, atau malam masih ada kesempatan. Oom Ton menginap di Bandung dua malam. Yah, besok sajalah.

Tapi aku ingin malam ini!

Aku ingin malam ini kelaminku masuk dan kemudian mengeluarkan cairan dengan nikmat!

Kemudian aku mengeluarkan penisku yang sudah tegang itu. Kata Tante punyaku ini besar. Entah benar-benar besar, aku tak tahu. Sebab aku belum pernah lihat punya orang lain.

Karena tidak ada Oom Ton, aku jadi makin berani menggoda Tanteku. Seperti waktu sarapan tadi. Aku mengelus-elus bahu dan lengan atasnya yang terbuka di meja makan. Bahkan mencium pipinya.

“Hati-hati, To”

“Ya, Tante, Kan saya lihat-lihat keadaan dulu”

“Mar ada di belakang” katanya.

“Tante”

“Ehm ?”

“Tarto sayang Tante”

“Aku udah ada yang punya, To” katanya sambil mencubit pahaku. Aku senang.

“Ya. Pokoknya saya sayang” Jangan-jangan aku jatuh cinta benar-benar sama Tanteku ini.

“Semalam Tante ke mana. Saya tunggu-tunggu”

“Ya. Tante tahu, kamu nonton TV. Kamu masuk kamar jam 10 ‘kan ? Masa’ mau terus-terusan”. Aku lega, Tante tak tahu perbuatanku semalam yang menyelinap ke kamar Mbak Mar.

“Iya dong. Mumpung ada kesempatan. Sekarang juga saya mau” kataku nakal.

“Gila, kamu To. Awas jangan sampai mengganggu sekolahmu!”

“Habis Tante betul-betul menggemaskan” Aku ngaceng lagi!

“Udah ah, berangkat sana, nanti telat”

“Tapi nanti lagi ya Tante, janji dulu”

“Lihat dulu nanti”

Bagaimana tidak mengganggu sekolah, seharian aku ingat Tante terus. Membayangkan apa yang akan kuperbuat nanti bersama Tante.

***

Di kelas aku jadi sering melamun, membayangkan waktu aku menyelusuri seluruh permukaan dada Tante dengan mulut dan lidahku. Membayangkan bagaimana kelaminku secara perlahan memasukinya…

Bel tanda pulang berbunyi. Aku bersorak. Ingat ke rumah, ingat malam ini Tante menjadi milikku. Akan kureguk semua kenikmatan dari tubuh Tante. Pokoknya nanti akan kunikmati seluruhnya, mulai dari ujung rambut sampai ujung kaki, sampai puas.

Memang aku bisa puas, tapi bagaimana dengan Tante ? Dua kali aku berhubungan kelamin dengan Tante, dua-duanya aku bisa mengeluarkan spermaku ke dalam lubang kelamin Tante, sampai puncak, sampai puas. Tapi Tante tidak. Aku jadi cemas, jangan-jangan nanti aku juga begitu. Tapi aku ingat, yang kedua kemarin tante bilang aku ada kemajuan. Hal ini sedikit menghiburku. Mudah-mudahan yang ketiga nanti dengan bertambahnya pengalamanku, ada kemajuan lagi. Aku agak tenang sekarang.

Di rumah sepi-sepi saja. Tak ada siapapun, juga Tante. Aku makan siang sendirian. Tante mungkin ada di kamar, pintu kamarnya tertutup. Kuselesaikan makan siangku dengan cepat, lalu duduk saja di meja makan, berharap Tante akan keluar dari kamarnya. Setengah jam berlalu, masih sendiri. Aku ke ruang keluarga nonton TV. Duduk di sofa lalu ingat, kemarin di sini aku menikmati buah dada Tante dengan tuntas. Diam-diam punyaku mulai tegak, padahal hanya membayangkan yang kemarin. Ditambah lagi acara TV menyajikan fashion show di Sydney, Australia. Peragawati cantik-cantik yang berlenggok di catwalk itu umumnya tak memakai kutang. Kalau model bajunya berdada rendah, belahan dadanya jelas. Kalau bahannya tipis, putingnya menonjol. Apalagi peragawati yang punya dada besar, buahnya berguncang waktu ia melenggang. Aku tambah tegang, makin pusing karena terangsang. Oh. Tante sayang, kemanakah engkau. Aku membutuhkanmu sekarang!

Tiba-tiba pintu kamar Tante terbuka. Aku menoleh. Kepala Tante nongol memberi isyarat padaku dengan mengangguk-angguk. Nasibku memang beruntung. Jelas ini isyarat ajakan masuk. Tapi masak di kamar itu, kamar pribadi Oom dan Tante. Aku ragu, bengong saja belum bereaksi atas isyaratnya. Sekali lagi Tante mengangguk, kali ini sambil mengedipkan kedua matanya. Dengan pasti aku melangkah menuju kamarnya. Kepala Tante lenyap. Aku masuk langsung menutup pintu kamarnya dan mengunci.

Di ranjang besar itu Tante terlentang. Mengenakan baju tidur tipis, sehingga samar-samar celana dalam dan kutangnya terlihat. Matanya sayu memandangku, berkaca-kaca. Kutang itu bergerak naik-turun menandakan nafas Tante sudah memburu.

Aku tak tahan melihat pemandangan yang menggairahkan ini, segera saja aku menghampirinya. Tapi…

“Tunggu dulu. Buka dulu dong, pakaianmu” perintahnya. Okey, tanpa dimintapun aku akan membuka. Sementara aku membuka pakaian sampai telanjang bulat, Tante memelorotkan celana dalamnya dengan posisi masih terlentang. Kini di balik baju tidur tipis itu nampak rambut-rambut halus yang menggemaskan itu.

Belum sempat aku bergerak, ada lagi ‘ulah’ Tante.

Ditariknya gaun tidur tipis itu perlahan, memperlihatkan paha bulat itu. Ditarik lagi keatas sampai pusarnya nongol. Kelamin berambut halus dan perutnya terbuka terhidang di depanku. Luar biasa. Tante menyajikan ’strip tease show’ di depanku! Ada-ada saja Tante ini.

Dengan ’senjata’ yang tegak keras aku menghampiri tubuh indah ini.

Kucium rambut-rambut halus itu sebentar. Gemasnya aku.

“Aaaaaaaahhhh” teriak Tante.

Aku berpindah ke atas, kulumat bibirnya sambil meremas sebelah dadanya. Kutang itu perlu disingkirkan dulu seharusnya, tapi aku tak sempat. Tanganku sebelah lagi bergerak ke bawah. Eh, Tante sudah basah! Benjolan dan pintu itu licin.

“Hhhhhhhhmmmmmmmm..” Tante tak mampu melenguh karena bibirnya aku kunci dengan bibirku.

Disingkirkannya tanganku yang sedang asyik di bawah, dipegangnya kelaminku, lalu diarahkannya ke ‘pintu’. Rupanya Tante ingin memulai sekarang. Mungkin sama dengan aku, sudah sama-sama terangsang lebih dulu sebelum bergumul. Aku terrangsang oleh bayanganku dan peragawati tadi, Tante terangsang entah oleh apa.

Aku mulai ‘masuk’

“Aduhh! Pelan-pelan, To!” Tante mengaduh, memang masukku tadi agak kasar.

“Maaf Tante, habis engga tahan sih..”kataku tersengal.

Kamipun saling menggenjot. Lucu kelihatannya kali ini. Tante masih mengenakan gaun tidur dan kutangnya, kelamin kami sudah saling pagut…

Hasilnya, seperti kemarin.

Aku ‘keluar’ lebih dulu, sementara Tante belum terpuaskan benar. Kentara dari pinggulnya yang masih mencoba menggoyang sambil kakinya menjepit pinggangku.

Kembali aku kecewa.

Kalau kelaminku sudah bergesekan dengan kelamin Tante, disamping rasa nikmat, juga rasa geli luar biasa. Jika sudah geli begitu, aku tak sanggup lagi menahan untuk jangan sampai ke puncak dulu.

Kembali aku gagal memuaskan Tante.

Kembali aku berusaha menetralkan suasana yang tak enak ini.

Kuelus buah dada yang putingnya masih tegang itu dengan penuh perasaan, lalu kucium perlahan. Tante mengusap kepalaku. Kucium pipinya dengan mesra.

“Tante..”

“Hmmm”

“Saya..engga..”

“Udahlah..Tante tahu. Kamu engga usah merasa apa-apa. Tante maklum kok. Kamu tadi lumayan, sudah ada kemajuan”

“Tapi Tante kan belum …”

“Engga usah kamu pikirin. Tante mengerti” katanya menentramkan sambil mengelus-elus dadaku.

“Saya engga bisa bertahan lama, Tante”

“Sudah lumayan, kok. Tante tadi juga merasa nikmat. Kamu udah mulai pintar mengocok tadi”

“Saya bisa merasakan Tante tadi belum puas”

“Iya, memang wanita membutuhkan waktu yang lebih lama dibanding laki-laki. Tapi kamu tadi ada kemajuan dibanding kemarin”

“Tak adil rasanya. Saya merasakan kenikmatan luar biasa, sedangkan Tante belum”

“Sudahlah, To. Tak perlu kamu pikirkan. Tante mengerti”

“Terima kasih Tante” Kupeluk tubuhnya erat. Erat sekali.

Diciumnya pipiku, lalu merebahkan kepalanya di dadaku. Aku mengelus rambutnya.

“Tubuhmu atletis sekali. Dadamu bidang” katanya sambil tangannya menelusuri dadaku.

“Iya, Tante. Dulu saya kerja di kebun. Saya juga sering olahraga”

Tiba-tiba tangan Tante ke bawah menggenggam punyaku.

“Kelaminmu besar sekali”

“Ah, masa Tante. Saya kira biasa-biasa saja”

“Apalagi kalau lagi tegang”. Kulirik punyaku, sudah agak surut.

“Tubuh Tante luar biasa” balasku.

“Kalau lagi tegang keras dan panas” komentarnya lagi masih tentang penisku, mengabaikan pujianku.

“Buah dada Tante indah sekali”

“Ah, masa. Dibanding punya siapa” pancingnya.

“Siapa saja” Aku pura-pura terpancing.

“Berarti kamu sering lihat buah dada, ya” Kubalikkan badannya.

“Besar, bulat, kenyal, putih, licin, halus lagi” kataku sambil melihat dekat-dekat buah itu.

“Buah dada siapa yang kamu lihat” tanyanya sambil menggoyang-goyang kelaminku yang masih berada digenggamannya.

“Cuma baru ini” jawabku sambil mulai merabai permukaan dadanya.

“Jujur aja, To. Dada siapa yang pernah kamu lihat” katanya lagi. Tante penasaran rupanya.

“Sungguh mati Tante. Cuma punya Tante yang pernah saya lihat”

“Yang bener, To” tangannya tidak menggenggam lagi, tapi mengelus kelaminku.

“Benar Tante”

“Kok tahu bagus ?”

“Saya hanya lihat punya teman-teman sekolah. Itupun dari luar”

“Pernah kamu pegang ?” Tangannya masih mengelus, aku mulai terangsang.

“Ih, engga lah, Tante. Bisa gempar, dong”

“Jadi, tahunya punya Tante bagus, dari mana ?”

“Pokoknya, dari luar, punya Tante paling besar” Ujung jariku mempermainkan putingnya. Putting itu mulai mengeras.

“Tante”

“Hmm ?”

“Apa setiap buah dada ujungnya begini ?’

“Begini gimana”

“Panjang, mungil, tapi keras”

“Mungkin. Punyamu mulai keras”

Aku seperti disadarkan. Memang aku sudah terangsang akibat percakapan tentang dada dan elusan Tante pada kelaminku. Aku mau lagi. Kenapa tidak ? Mumpung masih ada kesempatan. Oom Ton paling cepat besok siang pulangnya. Segera saja kukulum putting yang sejak tadi kupermainkan.

“Eeeeehhhhhmmmmmmm..” Tante melenguh panjang.

Tanganku ke bawah mencari-cari di antara ‘rambut-rambut’. Basah di sana. Kugosok yang basah itu.

“Uuhmmmm….Aaahhhhhhh..Uuhhmmmmm” desahnya agak keras, mengikuti irama gosokanku. Kelaminku diremas-remas. Enak.

“To… Hhheeeehhhggh..sedap, To..Hhheeeeeghh”

Tante makin ribut, aku khawatir kalau sampai terdengar dari luar kamar. Ah, tak ada orang ini. Aku makin giat menggosoki tonjolan kecil di bawah sana.

Tante makin ribut, menceracau tak karuan

Gosok lagi.

Teriak dia lagi. Akhirnya…

“Udah, To.ampun..Ayo To, sekarang To, sekarang…!”

Aku bangkit. Kelaminku yang sudah keras kupegang pangkalnya, kuarahkan. Tante membuka kakinya lebar-lebar. Demikian lebarnya sampai kedua lututnya ke atas, menyuguhkan kelaminnya yang membasah, tepat di depan kelaminku.

Aku masuk.

Kudorong perlahan.

“Oooohhh, To..sedapnya….”

Sudah tenggelam separoh. Kudorong lagi.

“Aduuuuhhhh, mamaaaa, nikmatnya…” teriaknya lagi.

Kudorong lagi.

Sudah masuk seluruhnya.

Kurebahkan tubuhku menindih tubuhnya. Tanganku ke belakang punggungnya. Kudekap erat tubuhnya, lalu aku mulai menggenjot. Sedaaaaaaaapp.

Bertumpu pada kedua lututku, aku menarik dan mendorong pinggulku.

Nikmaaaaaaaaaattt.

Entah kata apa saja yang keluar dari mulut Tante aku tak peduli. Terus saja menggenjot, naik-turun, keluar-masuk.

Aku nikmati benar gesekan kelaminku pada dinding vagina Tante.

Kadang selagi punyaku didalam, Tante “mengikat” pahaku dengan kakinya sambil memutar pantatnya. Kurasakan sentuhan seluruh relung kelaminnya pada kelaminku.

Luar biasa sedapnya.

“To…hhehh.kamu…hhehh..kok..hhehh..”Tante mencoba bicara disela-sela nafasnya yang memburu.

“Keenaapaa . hheehh.. Taanntee…hhehh”

“Kamu….kok…lama…”

Baru aku menyadari, sudah puluhan kali kelaminku kugenjot keluar- masuk-putar, tapi aku tak merasakan geli seperti biasanya. Yang kurasakan hanya nikmat. Rasa geli yang tak bisa kutahan yang kemudian membuat aku ke ‘puncak’, kali ini tak kurasakan! Heran!

“Engga …tahu.. Tante..”

“To, Oh my God..heeeehhhhhh”

“Enak…Tante…?”

“Wooow….luar biasa…”

Genjot dan genjot lagi

“Kamu..masih…lama..To..?”

“Masih…Tante.”

Memang aku belum merasakan “geli menuju puncak”

“Diam. dulu,.. To”

Aku menghentikan genjotanku. Posisiku masih “di dalam”.

Tangan Tante memeluk erat punggungku, sementara kakinya mengikat pahaku. Lalu tubuhnya bergerak miring hendak merobohkan tubuhku. Aku bertahan, tak tahu maksudnya.

“Gantian, To…Tante di atas.”

Baru aku tahu maksud gerakan Tante ini. Kuikuti gerakannya, tapi..

“Jangan.sampai…lepasss”

Rupanya gerakan robohku terlalu cepat, sehingga kelaminku sedikit tercabut. Untung Tante cepat mengimbangi gerakanku, hingga punyaku “masuk lagi”.

Sekarang kami sudah sempurna berbalik posisi. Tante yang menindihku. Hanya sebentar. Tante lalu perlahan bangkit mendudukiku. Kelamin kami tak terlepas. Tante mulai bergerak. Aneh, gerakannya maju-mundur! Rasanya lain pula, tapi sama sedapnya! Dengan posisi begini gesekannya terasa lain. Kadang diputar, seperti diperas. Kadang Tante “jongkok”, pantatnya naik-turun, sedap juga.

“Aaaahhhh..kamu..nakal” teriaknya ketika dia berjongkok membenamkan kelaminku, aku mengangkat pantatku.

Kedua tanganku diraih, dituntun ke dadanya. Kuremas dada yang tambah licin kena keringat.

Entah sudah berapa lama akhirnya Tante capek juga. Dia rebahkan tubuhnya. Kupeluk. Kumiringkan, aku ingin di atas lagi. Tante menurut. Dengan hati-hati kami mengubah posisi, agar jangan terlepas. Aku berhasil.

“Kamu…udah..pintar..”pujinya.

Dengan posisi di atas aku jadi bebas menggenjot. Lagi-lagi Tante teriak.

“Terus..To.., Tante…hampir…”

Terus. Tusukanku makin menggila. Teriakannya makin keras.

Rasa geli datang, dimulai dari ujung penis, terus menjalar ke seluruh tubuh. Makin geli. Makin cepat aku menarik-tusuk. Kesemutan…mengambang..melayang..dan…….

“Aaaaaaaaaaaaaaahhhhhhhh….”

Seeeerrr, denyut-denyut, seeerrr, bergetar, serrrrr, berguncang..seer. Entah sudah berapa kali seerr, yang jelas setiap kali keluar aku merasakan kenikmatan yang tak bisa kugambarkan dengan kata-kata. Begitu nikmat. Aku sampai lupa memperhatikan tingkah Tante. Badannya telah bergeser ke atas karena ku”dorong” dengan tusukanku. Bantalnya bukan lagi di kepala, tapi di punggung. Sedangkan kepala terkulai, mata melihat ke atas, bibir terkatub rapat seluruh tubuh gemetaran. Teriakannya ? Tak perlu kuceritakan. Agak lama juga aku dan Tante bergetaran begini, merasakan puncaknya kenikmatan hubungan kelamin…….

Lalu, hanya nafas kami berdua yang terdengar, seolah berebut mengisap oksigen untuk mengembalikan enerji yang keluar.

Lalu barangsur pelan, makin beraturan.

Tante masih “terkapar”

Aku lunglai di atas tubuhnya.

Ini keempat kalinya aku bersetubuh dengan Tante. Yang terakhir inilah kurasakan sangat berbeda dibanding tiga kali yang terdahulu. Lebih nikmat, lebih memuncak, lebih lama, lebih banyak aku mengeluarkan “air”ku, lebih bergetar, pokoknya …..susah diceritakan. Pengalaman baru tentang rasa nikmat.

Dan lagi, mudah-mudahan pengamatanku tak salah, Tante begitu menggelepar, mengerang, teriak, berbeda dengan sebelumnya, Tante kali ini kelihatan “selesai”. Semoga begitu.

“Ooh..To., kamu hebat” Diciumnya pipiku dengan gemasnya.

“Apanya yang hebat, Tante”

“Kamu betul-betul lelaki” tambahnya

“Memang dari dulu saya laki-laki. Ini buktinya” Kusodorkan kelaminku, menusuk perutnya.

“Laki-laki yang jantan” diremasnya penisku dengan gemas.

“Auu” teriakku

“To…luar biasa..” Tak putus-putusnya ia memujiku.

“Enak engga tadi, Tante ?”

“Wow. bukan main. Sangat!”

Kupeluk tubuhnya. Aku merasa bahagia sekali.

“Tante sayang..” Aku berbisik semesra mungkin.

Agak kaget Tante memandangku, lalu tersenyum. Manis sekali!

“Ada apa ‘yang ?” Wuih, mesra banget. Tante memanggilku ‘yang’.

“Saya sayang Tante” Kucium bibirnya.

“Hhmmmmmmm” lenguhnya.

“Kalau lama, enak sekali ya Tante”

“Kok kamu tadi bisa lama”

“Engga tahu, Tante. Mungkin karena tadi ronde kedua”

“Atau mungkin karena kamu udah mulai pandai”

“Yang pandai gurunya”

“Huuuu” cibirnya sambil mencubit kontolku. Aku senang.

“Guruku yang cantik”

Dicubitnya hidungku.

“Dan berpengalaman” godaku lagi.

“Aaah, udahlah, To”

Kami diam lagi.

“To.” panggilnya tiba-tiba.

“Ya.sayang”

“Jangan tinggalin Tante, Ya”

“Oo, engga dong. Masa Tante yang jelita begini mau ditinggalin”

“Tante serius, To”

“Saya juga serius, Tante. Saya membutuhkan Tante. Saya ingin begini setiap hari, Tante”

“Saya butuh kamu” Nah ini baru pernyataan. Ini pernyataan baru. Tante membutuhkanku ? Bukankan ia punya suami ?

“Oom Ton gimana Tante”

Tiba-tiba wajah Tante berubah, agak sedih kulihat.

“Tante….ah engga. Pokoknya kita harus hati-hati, To. Ingat pesanku ‘kan ? Tante juga senang kita bisa begini terus. Tapi hati-hati, ya ?”

“Pasti, Tante. Saya akan hati-hati. Tapi Tante mau kan, tiap hari”

“Nanti kamu bosan”

“Saya sudah bilang, Tarto sayang Tante. Tarto butuh Tante. Tarto ingin menikmati setiap hari. Tadi Tante bilang membutuhkan Tarto. Maksudnya gimana Tante ?”

“Iya.sama seperti kamu, Tante juga ingin setiap hari”

Klop ‘kan ? Keinginan yang sama, saling membutuhkan, saling memuaskan, dan….saling menyayangi. Apakah ini yang dinamakan cinta ? Ya, apakah kami saling mencintai ? Aku memang tak ingin kehilangan Tante, tapi Tante sendiri bagaimana ? Apakah ia membutuhkanku karena mencintai keponakannya ini ? Atau karena aku baru saja memuaskannya ? Bagaimana dengan suaminya ? Jangan-jangan ia tak mendapatkan kepuasan dari Oom Ton ? Aku ingin mendapatkan jawaban dari pertanyaan terakhir ini, tapi mana berani aku menanyakan langsung kepada Tante. Ah, itu tak penting. Yang penting, aku sekarang punya kekasih yang luar biasa, yang bisa membuatku melayang-layang di puncak kenikmatan.

Lelah benar aku malam ini. Bayangkan, malam ini dua kali aku “bertempur”. Terutama yang terakhir tadi, permainan lama yang betul-betul menguras tenagaku. Aku sekarang ingin istirahat.

Masih agak sempoyongan aku bangkit mengumpulkan pakaianku.

“Mau ke mana To ?”

“Saya ingin tidur, Tante”

“Sudah tidur sini aja, temanin Tante”

“Saya senang sekali Tante, tapi besok Oom ‘kan pulang ?”

“Paling cepat besok siang” Aku memperhatikan Tante yang dengan malas bangkit. Tubuh wanita ini memang luar biasa. Aku benar-benar beruntung mendapatkannya. Masih telanjang bulat Tante berjalan menuju kamar mandi. Tak lepas mataku menatapnya.

“Kenapa, To” Tante merasa aku tatap begitu.

“Tante memang indah” kataku sambil bergantian menatap dada dan ‘rambut’ bawahnya.

“Kamu memang nakal. Sudahlah, bersih-bersih dulu baru kita tidur”

Di dalam kamar tidur Tante yang luas ini ada kamar mandi yang luas pula. Ada dua wastafel cermin lebar, bath-tube, dan tempat untuk mengguyur (douce) yang berpintu kaca agak buram.

Di bath-tube kami saling membersihkan, Tante menyabun tubuhku sementara aku mengguyur tubuhnya, lalu gantian. Ah, mesra sekali.

Lalu berdua kami tidur berpelukan dibawah selimut yang hangat, tanpa pakaian. Tante yang punya ide begini. Enak juga. Jam dinding menunjuk waktu 11.32. Dua ronde permainan makan waktu hampir 3 jam. Pantas saja aku lelah.

Dengan tergagap aku terbangun. Dimana aku in ? Tante masih ada di pelukanku. Kulihat sekeliling, ah aku tidur di kamar pribadi Oom Ton dan Tante Yani!

Ada rasa enak di bawah sana. Ooh, Tante sedang asyik mengelus-elus penisku yang tegang. Setiap bangun pagi, tanpa dieluspun penisku memang tegang. Elusan ini yang membuat aku terbangun. Kulihat jam dinding, pukul 05.17. Ah , sudah pagi, aku harus siap-siap. Tapi Tante ini..

Tante memandangku, tersenyum, seperti biasa : manis.

“Punyamu udah keras, To” Buah dada itu menyembul karena terpepet dadaku. Aku terangsang.

Langsung saja aku raih buah indah itu. Putingnya sudah keras. Kami berpagutan. Aku ingin tahu kesiapan Tante pagi ini, tanganku ke bawah sana. Sudah basah rupanya. Mengingat waktu, aku ingin segera mulai. Tantepun paham.

Kembali aku melakukan ‘pertempuran’ panjang melawan Tante.

Rasanya jalan ke puncak masih lama.

Aku mempercepat “pompaan”ku

Belum juga.

Aku terus melumat bibir Tante, mencegah “kicauan”nya yang makin keras, khawatir terdengar Mar yang sangat mungkin sudah bangun.

Ganti posisi

Percepat lagi.

Hampir

Ubah posisi

Akhirnya, aku makin yakin seperti yang Tante katakan, bahwa aku lelaki tulen, jantan, hebat….

Pagi yang melelahkan sekaligus menyegarkan……!

Tante memberikan bukti, bukan hanya janji. Kami bersetubuh hampir tiap hari, kecuali kalau Tante senam. Waktu yang dipilihnya adalah siang hari, waktu saya baru pulang sekolah, di kamarku. Ini demi keamanan. Siang hari adalah saat yang paling aman. Saat Si Mar sedang sibuk bekerja di belakang, Si Luki bermain dengan pengasuhnya di rumah sebelah, dan saat Oom Ton belum pulang kantor. Siang hari memberikan Tante cukup waktu untuk membersihkan diri, menghilangkan “bekas”.

Aku jauh dari bosan, seperti yang dikhawatirkan Tante. Karena aku memang sangat menikmati hubungan ini. Faktor lain yang membuat aku tak bosan adalah kreativitas Tante. Seperti yang kukemukakan di awal tulisan ini, ada saja ide Tante untuk membuat kejutan untukku setiap berhubungan kelamin. Entah itu posisi berhubungan, atau acara “pembukaan”, tambahan ronde, dan lain-lain yang membuat aku merasa “lain”.

Pernah sekali waktu ketika aku pulang sekolah, ia sudah siap di dipanku memakai selimutku sebatas dada dan tak memakai apa-apa lagi di balik selimut itu. Kejutan yang membuatku “terbakar”.

Lain kali lagi ia memintaku “masuk” dari belakang. Bertumpu pada lututnya ia ‘nungging’, aku bermain sambil memegangi pantatnya yang bahenol itu.

Saat yang lain lagi, kami ‘bertempur’ di atas meja belajarku. Ia duduk di pinggiran meja membuka kaki, aku ‘masuk’ sambil tetap berdiri.

Pernah juga di kursi belajarku. Aku duduk di kursi yang dirapatkan ke dinding, ia duduk di atas pahaku berhadapan. Dengan posisi begini ia bebas “memilih” posisi tusukan kelaminku di vaginanya. Posisi atau gaya apapun, yang jelas membuat kami berdua menuju puncak bersamaan atau hampir berbarengan.

Kejutan yang susah kulupakan serta merupakan pengalaman baru bagiku adalah seperti yang akan kuceritakan di bawah ini.

Seperti yang sudah-sudah, pulang sekolah setelah ganti baju, aku langsung menemui Tante meminta “jatah” bersetubuh. Aku sebut jatah karena kalau malam hari Tante bukan milikku lagi, tapi jatah suaminya.

Siang itu ruang tengah sepi, Tante mungkin ada di kamarnya, kulihat pintunya sedikit terbuka. Aku ingin masuk ke kamarnya, kali ini aku ingin main di kamarnya, karena sejak “semalam 3 ronde” itu aku tak pernah lagi making love di kamar itu, selalu di kamarku. Kuperiksa keadaan sekeliling dulu. Aman.

Aku masuk kamarnya. Tante mengenakan kimono sedang mengikat rambutnya. Kukunci pintu, kupeluk Tante dari belakang, menggerayangi. Tak ada apa-apa lagi di balik kimono itu.

“Hhmmmmm..sebentar ya ‘yang, Tante mau mandi dulu”

“Engga usah mandi juga Tante tetap wangi” kataku terus menjelajahi tubuhnya.

“Entar biar segar. Sabar dulu ya..” Aku menghentikan aksiku.

“Saya ikut mandi Tante” kataku bercanda.

“Ayolah, kita mandi bareng” Tak kusangka Tante menganggapnya serius. Ayo, kalau begitu.

Aku langsung bertelanjang, menuntun Tante memasuku kamar mandi. Tante membuka kimononya, bertelanjang bulat juga, masuk ke ruang douce. Tak bosan-bosannya aku memandangi tubuh indah ini, padahal hampir tiap siang aku menggumulinya.

“Ayo, To” ajaknya.

“Kita main di sini Tante ?” nakalku timbul.

“Hush, sekarang kita mandi dulu, kapan-kapan bolehlah”

Tanganku yang bersabun menggosoki dadanya. Di bagian putting sengaja kutekan-tekan. Tante juga menggosok dadaku dengan sabun. Lalu perutnya, dan ke bawah lagi. Tangan Tante juga ke bawah. Diusapnya dengan sabun ‘rambut’ bawahku, kemudian dipegangnya batang kelaminku, digosok juga. Karuan saja batang itu membesar.

“Hiiiiii, bangunnya cepet bener” Aku menikmati gosokannya. Tante benar-benar teliti, semua bagian dari alat vitalku itu dibersihkan dengan sabun lalu diguyur. Enak.

Aku ikut-ikutan. Seluruh bagian kelaminnya aku bersihkan. Kalau aku lagi menggosok “pintu” kelaminnya, kulihat mata Tante merem-melek keenakan.

Selesai mengeringkan badan aku langsung menubruk Tante.

“Heee, jangan disini To, ingat dong” Oh ya. Siang begini terkadang si Luki suka masuk ke kamar, tentu diikuti si Tinah. Berbahaya.

Aku berpakaian, hanya pakaian luar saja, pakaian dalam aku bawa, menyingkat waktu.

“Hiiiii, lucu.” kata Tante mengomentari tonjolan di celanaku. Tantepun hanya memakai daster, tanpa pakaian dalam.

Aku masuk kamarku duluan, langsung berbugil. Sejurus kemudian Tante menyusul, juga langsung bertelanjang bulat. Kami langsung bersatu, saling raba dan saling pagut. Kali ini mungkin tak ada kejutan yang dibuat Tante. Atau ya itu tadi, mandi dulu sebelum main. Betul juga kata Tante, lebih segar.

Aku meringkik kegelian ketika Tante menciumi pusarku. Ini mungkin kejutannya, tak biasanya Tante begitu.

Tapi, Tante terus ke bawah menciumi ‘rambut’ku. Lebih kaget lagi, tangannya menggenggam kelaminku dan mulai menciumi barang yang sudah mengeras itu! Bukan main! Geli-geli nikmat. Bahkan..

“Aaaaaaaahhhh” aku mengerang ketika kepala penisku dimasukkan ke mulutnya!

Luar biasa nikmatnya. Ini rupanya mengapa Tante begitu teliti membersihkan kelaminku waktu mandi tadi.

“Tante…”

Tante seolah tak mendengar panggilanku, terus saja asyik melahap barangku. Tante sanggup memasukkan barang itu hingga separohnya. Sewaktu di dalam, jelas kurasakan lidah Tante ikut bermain menggelitiki penisku. Woooow sedapnya tak terkira .!

Sungguh ini pengalaman baru bagiku. Nikmatnya terasa lain. Entah apa yang dirasakan oleh Tante. Kok mau-maunya ia melakukan ini. Aku sih keenakan. Aku perhatikan bagaimana ia sibuk mengeluarkan-memasukkan penisku, kepalanya naik-turun berirama.

“Aaaahhhhhhh…hhmmmmmmmm…ssssshhhhhhhh..sed ap, .. Tante., …Tante..pintar .sekali…” celotehku menahan nikmat. Bagaimana nanti kalau aku tak mampu menahan diri ? Masa aku menyemprotkan spermaku ke mulut Tante ? Ah, bagaimana nanti saja, yang penting sekarang….sedaaaaaaaaaap.

Tiba-tiba Tante melepas “makanan”nya, disapunya barangku dengan kain dasternya yang tergeletak di dipan. Aku merasa kehilangan sesuatu. Dikeringkan. Lalu…dikulum lagi…! Nikmaaaaat..

Dilepaskannya lagi, barangkali mau dilap lagi. Ternyata tidak, badannya digeser sehingga kaki Tante berpindah ke arah kepalaku.

“To, .. ayo cium, To..”katanya terengah. Sejenak aku bengong tak mengerti permintaannya.

“Kamu cium ini…” katanya kemudian sambil menunjuk ke selangkangannya. Okey, Tante, toh aku sudah sering mencium ‘rambut-rambut’ halusmu itu. Aku mulai mencium.

“Ke bawah lagi, dong To..” Ke bawah ? berarti disitunya ? Hal baru, kenapa tidak ?

Kucium tonjolan kecil yang sudah keras itu. Asin rasanya.

“Aaaaaaaahhhhhhhh, sedap To, terus…”

Kini lidahku yang menyapu-nyapu pintu dan tonjolan tadi

“Yaaaahhh. yaaaaaa…begitu enak…” katanya sambil mulutnya menyergap lagi batang kelaminku.

Ada cairan yang asin rasanya.

Di kemudian hari aku baru tahu bahwa yang sedang aku dan Tante lakukan sekarang ini namanya “posisi 69?

Dalam mengulum ini Tante pintar sekali, banyak variasinya. Keluar-masuk, kadang menyedot-nyedot, bermain lidah, sesekali menggigit (aku langsung teriak).

Akupun diajarinya bermain. Menggelitik ‘lubang’ dengan lidahku, menggigit kelentitnya (pelan, tentu saja), menyapu bibirku ke “bibir”nya.

Asyik juga bermain seperti ini. Masing-masing sibuk, masing-masing merasakan nikmatnya.

Entah sudah berapa lama kami bermain begini. Untung saja aku berhasil menahan diri untuk tidak keluar. Aku sekarang memiliki ketrampilan baru untuk mengontrol diri, mengatur diri kapan saatnya ‘keluar’. Kalau tidak, masa aku menyiram mulut Tante dengan maniku.

Sampai akhirnya….

“Ayo, To….sekarang.To….”

Aku memutar tubuhku, sementara Tante rebah terlentang membuka kakinya, siap menerima tusukanku.

Aku masuk dengan gemas.

Tante menerima dengan antusias.

Untuk kesekian kalinya kami saling menggenjot.

Bersama menuju puncak.

Berbarengan menggelepar.

Sudah itu

Sama-sama lemas

Sama-sama puas.

Oh, betapa bahagianya aku.

Kebutuhan lahir dan batin terpenuhi.

Kurang apa lagi ?

***

Tak ada yang kurang pada diri Tante. Cantik, putih, tubuh bagus, permainan di tempat tidur luar biasa, dan kreatif. Kreativitas Tante tercermin dari cara bersetubuh. Ada saja yang dilakukannya yang membuatku merasa bersetubuh dengan orang baru. Selalu ada hal baru dalam setiap permainannya. Sejak Tante memperkenalkan “posisi 69?, aku selalu minta dikulum penisku sebagai acara pembukaan. Tante juga amat menikmati permainan lidahku di vaginannya.

Seperti biasa sepulang sekolah aku mendekati Tante untuk melaksanakan ‘tugas’ rutin, bersetubuh.

Aku sudah membuka resleting celanaku, mengeluarkan penisku yang tegang di dekat Tante yang sedang duduk di tepi ranjang, masih berpakaian lengkap, di kamar Tante yang sudah kukunci. Yah, semacam pemberitahuan bahwa aku sudah siap. Tapi tante menyambut dengan dingin, tak seperti biasanya. Ia hanya mengelus-elus. Ketika dengan kurang ajar aku mendekatkan kelaminku ke mulutnya, ia hanya mengecup lembut kepalanya, tidak dikulum seperti biasanya, paling-paling hanya menggenggam.

“Tante engga bisa sekarang, To”

“Kenapa Tante ?”

“Tante lagi …itu..”

“Lagi apa, Tante ?”

“Lagi mens.”

“Mens ? Apa itu Tante ?”

“Kamu engga tahu ?”

“Bener, Tante. Saya sungguh engga tahu” Memang aku tidak tahu.

“Begini, setiap bulan wanita yang sudah dewasa mengalami masa menstruasi. Wanita yang normal pasti mengalami”

Lalu Tante memberiku kuliah tentang menstruasi itu. Bahkan ditunjukkannya kepadaku celana dalamnya yang berbalut itu.

“Kalau begitu, besok saja ya, Tante” pertanyaan bodoh memang.

“Engga bisa To. Masa mens biasanya sekitar seminggu. Tapi kalau Tante sekitar 4 - 5 hari.”

Wah, menunggu 4 - 5 hari, mana tahan ?

“Tapi Tante, saya ingin …”

“Engga, To. Sabar aja ya, yang…”

Aduh, pusing juga aku, keinginan sudah sampai ke kepala.

“Bagaimana kalau begini saja Tante..” Kataku sambil menempelkan penisku ke bibir Tante, minta dikulum.

“Engga bisa juga, To. Itu namanya kamu egois. Kamu bisa puas, tapi kalau Tante terangsang, gimana ?” Benar juga kata Tante.

“Maafkan saya, Tante. Saya sungguh-sungguh belum tahu” kataku sambil memeluknya dengan mesra.

“Engga apa-apa, To. Tante maklum”

Dimasukkannya penisku, celana dalamku dibetulkan letaknya, lalu ditutupnya resleting celanaku. Mesra sekali.

“Awas, ya. Jangan cari sasaran lain” katanya.

Kucium kedua belah pipi Tante, dengan mesra juga.

“Engga dong, Tante. Emangnya apaan.”

Ternyata ada yang belum aku ketahui tentang wanita

Sekarang masalahku, mana bisa aku menunggu 4 - 5 hari tanpa bersetubuh, setelah hampir tiap hari menikmati.

Pulang sekolah agak kaget aku mendapati Tante duduk di sofa, membaca. Kucium pipinya.

“Engga senam, ‘yang ?”

“Engga, lagi banyak-banyaknya”

“Apanya yang banyak ?”

“Ah, kamu. Ya mens-nya” Aku mengerti. Tapi berarti hilang juga kesempatanku siang ini menyatroni mBak Mar. Paling tidak aku harus menunggu 2 hari lagi, jadwal senam Tante berikutnya, atau menunggu sampai Tante “bersih”.

Malamnya, terkantuk-kantuk aku menunggu Oom Ton dan Tante masuk kamar. Pukul 10.15 mereka masih asyik menonton TV. Aku masuk kamar duluan, gelisah. Setengah jam berikutnya kudengar TV dimatikan, lampu tengah juga, lalu kudengar suara pintu ditutup dan dikunci.

***

Sengaja aku datang ke sekolah lebih pagi. Hari in ada ulangan Fisika dan aku merasa belum siap. Di rumah aku tak bisa konsentrasi belajar, ingatanku ke Tante melulu. Apalagi sekarang udah beberapa hari aku tak bersetubuh, pusing aku, mana bisa belajar di rumah. Pagi ini kesempatan terakhirku untuk belajar Fisika menghadapi ulangan nanti. Belum banyak kawan yang datang, cuma ada Tono, Edi dan Rika yang lagi ngrumpi. Dito belum nongol. Aku ambil bangku paling belakang, mojok, lalu mencoba berkonsentrasi. Lumayanlah dalam setengah jam aku bisa memecahkan soal-soal yang kuperkirakan akan keluar nanti. Juga beberapa rumus sempat “masuk’ ke otakku, sampai seseorang datang menghampiriku dengan senyuman yang amat manis. Yuli memang manis, apalagi kalau senyum. Masih ingat dengan Yuli, pembaca ? Yuli teman sekelasku yang kugambarkan badannya biasa-biasa saja, dadanya menonjol wajar dan wajahnya manis. Akhir-akhir ini kami makin akrab, sebatas dalam pelajaran lho! Sering saling meminjam buku catatan, diskusi soal-soal PR, atau cuma ngomongin guru-guru. Makin dekat kurasakan Yuli makin menarik, dadanya makin menonjol aja. Aku sudah berada di pelukan Tante sih, jadi aku kurang memperhatikan Yuli. Entah ini hanya ge-er saja, kulihat Yuli begitu ceria kalau berdekatan denganku.

“Rajin bener. belajar Fisika ya..?” tegurnya sambil duduk di sebelah kananku.

“Ah engga. Justru karena aku males, baru sempet belajar sekarang” sahutku

“Pinjam catatan Matematiknya dong Tar”

“Matematik ? Kan entar ulangan Fisika”

“Iyyaa. Tapi kemarin gua engga sempet nyatet jawaban soal kemarin”

Aku ulurkan buku Matematik, sambil memgang tangannya. Yuli membiarkan tanganku meremas tangannya, meskipun kemudian dia tarik tangannya, without any words. Tanda “penerimaan”. Tangannya halus bener .. Lalu dia dengan serius memelototi catatanku itu. Anak ini memang serius banget kalau belajar. Mataku tak lepas memperhatikannya. Dia mungkin tahu aku melihatnya, tapi pura-pura tidak tahu. Ah .. Ini dia. Di sela-sela kancing bajunya, aku sempat “mencuri” keindahan sebelah buah yang tumbuh di dadanya. Hanya sedikit sih, tapi cukup membuatku “berdiri”. Apalagi daging itu terlihat sedikit naik-turun seirama tarikan nafasnya. Ah seandainya ..khayalanku melayang tinggi. Kuperiksa keadaan sekeliling. Masih sepi, memang masih pagi sih. Hanya ada 2 kawan yang tadi, lagi asyik menulis. Sekaranglah waktunya! Toh 2 teman tadi menghadap ke depan kelas, tak akan melihat bila aku “menggarap” Yuli.

Segera saja tangan kananku merangkul bahu Yuli. Tak ada reaksi. Aksi kuteruskan dengan memegang dagu dan menariknya. Mata Yuli sedikit membelalak, agak kaget mungkin, tapi tak ada tanda-tanda penolakan. Ah. bibir merah membasah yang menggairahkan. Kucium bibirnya. Dan … Yuli membalas ganas ciumanku..!

Tanganku mulai membuka kancing baju putih itu, lalu empat jariku menyusup ke balik BH-nya. Halus, padat, dan lumayan besar. Aku meremas. Yuli melenguh. Jariku mencari-cari putingnya. Mengeras. Tangannya kepangkuanku. Meremas juga. Sambil masih berciuman, aku melirik dua temanku tadi, mereka masih tak acuh sibuk sendiri. Aman!

Bibirku menelusuri lehernya yang licin, terus kebawah. Kancing bajunya sudah terbuka semuanya. Kulepas baju seragamnya, lalu kudorong Yuli hingga rebah di bangku sekolah!

Aku menindihnya hingga tubuh kami “lenyap” dari pandangan teman-teman tadi kalau mereka menengok ke belakang. Kuciumi habis-habisan kedua bukit perawan itu. Aku yakin bukit kembar ini belum tersentuh oleh “pendaki” manapun. Keras, dan padat. Aku tak sanggup menahan lagi. Walaupun pakaianku masih lengkap nempel di badan, tapi meriamku sudah nongol tegak dari rits celana, siap. Kusingkap rok abu-abu itu jauh-jauh ke atas. Kupelorotkan celana dalam krem-nya…

Amboi … bulu-bulu halus, merata di seluruh permukaan kewanitaanya.. Luar biasa.. Masa aku kerjain di sini, di kelas ? Biar saja. Kalau nanti ketangkap basah gimana ? Peduli amat. Kalau sudah begini, mana bisa “delay”, apalagi “cancel”. Lagi pula Yuli sudah merintih-rintih sambil membuka pahanya agak lebar. We got the point no return!

Mulai sekarang ? Ya, tunggu apa lagi. BH-nya masih nempel. Biar saja, tak ada waktu lagi. Kutempatkan penisku ke “tempat yang layak”. Menyapu-nyapu sebentar di seputar pintu-basahnya, lalu mulai menusuk.

“Uuuuhhhhhh ..” Yuli melenguh.

Mentok. Padahal baru “kepala”ku yang tenggelam. Tusuk lagi dengan menambah tekanan.

“Aaaahhhhh .pelan ..pelan ..sakiiit…” Desahnya pelan dan terbata-bata.

Buset! Susah bener. Vagina yang satu ini sempit benar. Apa betul, Yuli masih perawan .? Mungkin juga. Sebab biasanya kalau sama Tante Yani tusukan begini sudah mampu mencapai “dasar”.

Aku tusuk lagi lebih kuat, bahkan sekuat tenagaku. Dan …..

“Heh! ngelamun aja!”kudengar suara agak membentak. Suara Yuli!

Aku tersadar.

Aku kembali ke alam nyata.

Kembali dari lamunan nakal.

Lamunan bersetubuh dengan gadis yang duduk di sebelahku ini.

Gadis yang baru saja mengagetanku!

Ah.sialan. Kenapa aku begini ?

Gara-gara mengintip sedikit buah Yuli, aku jadi melayang..

***

Hari berikutnya aku kurang beruntung. Tante ada di rumah mengajakku ngobrol. Hanya ngobrol. Sayang sekali tubuh molek ini belum bisa “dipakai”. Sembulan dada bagian atas Tante dan sedikit belahannya cukup membuatku kepingin.

“Tante…” panggilku dengan suara serak”

“Hmm ?”

“Saya pengin, Tante”

“Kamu itu, engga sabaran, engga pernah puas”

“Bukan begitu, Tante. Saya puas, puas sekali. Cuma ketagihan, habis enak sih. Udah biasa setiap hari…”

“Sabar, dong” katanya sambil menggenggam selangkanganku.

“Eh, udah keras..” katanya lagi.

“Iya, Tante. Saya siap setiap saat” kataku meniru iklan

“Dasar…….! Dua hari lagi”

“Lama bener..”

Besok siangnya lagi, ada kejutan baru untukku. Tidak bersetubuh sih, tapi menyenangkan.

Tante sedang duduk di sofa menyulam. Begitu datang aku langsung menyingkirkan kain sulamannya, lalu kucium pipi dan kemudian bibirnya. Aku langsung tahu bahwa dibalik gaun merah jambu, warna kesukaannya, Tante tak memakai BH.

“Mandi dulu sana, To”

“Udah bisa, Tante ?” tanyaku cerah.

“Ih, kesitu aja pikiranmu. Belum, belum bersih” jawabnya sambil menuntun tanganku ke bawah perutnya. Masih ada pembalut di sana.

“Jadi, gimana dong Tante” kuremas dadanya yang tak berkutang.

“Pokoknya kamu mandi dulu”

Aku mandi dan mengganti baju dengan penuh harap, barangkali ada kreativitas baru dari Tante.

Aku keluar kamar. Ini dia kejutannya. Tante masih duduk di situ, hanya kancing gaunnya telah dibuka sampai perut, mempertontonkan sepasang buah dada yang mengagumkan. Luar biasa. Berani benar Tante ini, bertelanjang dada di ruang tengah. Jelas belum bisa bersetubuh, tapi kelakuan Tante ini menandakan ada permainan apa lagi nih.

Langsung saja kuserbu buah dada itu.

“Eeeeehhhhmmmmmm” Dengan gemasnya aku mengacak-acak buah indah itu dengan mulut dan tanganku.

Belum puas aku bermain dengan dada, Tante mendorongku sampai aku berdiri di depannya. Lalu.Tante membuka kancing jeans-ku!

“Tante… Si Mar nanti…..”

“Engga ada, lagi pergi…”

Dibukanya resleting celanaku, diturunkannya celana dalamku, lalu dikeluarkannya penisku yang langsung tegang, digenggam pangkalnya, terus diciumi ‘kepala’-nya, lalu masuk mulutnya!

Ooooohhh, nikmat sekali permainan baru ini. Suasana baru. Bayangkan. Di ruang tengah, berdua masih berpakaian, aku hanya mengeluarkan kelaminku, Tante mengulumnya dengan bertelanjang dada! Oh, indahnya dunia ini.

“Ooohhhhhhhhh, Tante, …sedaaaaappp.”

Kepala Tante bergerak maju-mundur, sangat perlahan. Terasa sekali bibirnya menjepit dan bergerak menelusuri permukaan penisku.

“Tante..Tante…enaaaaaaaak, Tante..”

Tante terus saja. Tanganku dituntun ke buah dadanya. Aku sampai lupa diri tak berbuat apa-apa pada Tante. Habis sedap sekali sih!

Kedua tanganku meremasi sepasang buah kenyal itu. Tante terus bekerja. Geli, Tante…!

Ya, geli. Aku hampir ke puncak. Entah mengapa kali ini aku cepat mendaki. Mungkin karena pintarnya bibir dan lidah Tante merayapi permukaan kulit kelaminku, atau karena suasana yang aneh ini.

Aku tak mampu menahan lebih lama lagi.

Tante rupanya tahu kalau aku hampir sampai, ia mempercepat gerakannya. Bagaimana kalau keluar, aku tak tega kalau sampai menumpahi mulut Tante dengan spermaku.

Segera..ya..segera sampai….

Dilepasnya kulumannya, tangannya yang memegang sapu tangan secepat kilat menutupi kelaminku dan digenggam.

“Aaaaaaaaaahhhhhh” sambil berteriak aku muncrat. Sedaaaaaaap.

Tante meremas.

Muncrat lagi, enak, meremas lagi, muncrat, nikmat, remas, sedap, muncrat, remas….

Beberapa detik aku terbang, kakiku goyah, lalu mendarat ditubuh Tante. Kucium mulutnya. Masih ada muncratan lagi, tertampung di saputangan. Ada lagi, makin sedikit…..

Beberapa saat aku masih menubruk Tante, ia masih menggenggam dengan saputangan.

“Terima kasih, Tante…”

“Enak, To ?”

“Sedaaaaaaap, Tante. Tapi lebih nikmat ke sini…” jawabku sambil memegang benda yang masih berpembalut itu.

“Masih pusing ?”

“Hilang, Tante. Lepas sudah…” Keteganganku memang lepas.

“Tante sendiri, gimana dong, Tante ?”

“Engga apa-apa. Ini ‘kan cuma membantu kamu”

Kupeluk lagi Tante lebih erat. Aku makin sayang saja sama Tanteku ini.

“Terima kasih, Tante. Tarto makin sayang sama Tante” kataku jujur.

“Sudah, cuci dulu sana. Ih, banyaknya….”

“Iya, habis sudah tiga hari engga keluar.”.

***

Sejak peristiwa ‘penguluman di ruang tengah’ kemarin itu aku jadi makin berani ‘kurang ajar’ kepada Tante. Seperti siang ini. Waktu Tante sedang duduk membaca di ruang tengah, aku mendekatinya dari belakang dengan kelaminku sudah kukeluarkan, terjulur kutempelkan di pipi Tante.

“He, ngawur kamu.!” Tante kaget. Ditariknya punyaku.

“Aauuu” aku teriak.

“Masukkin, engga aman!”

“Iya Tante, saya tahu. Cuma bercanda”

Di hari berikutnya Tante membalas.

Sewaktu aku sedang makan siang sendiri, Tante mendekatiku, sangat dekat sehingga perutnya hanya berjarak beberapa senti dari pipiku. Kucium bawah perutnya. Lalu Tante meraih tanganku, dimasukkan ke balik gaunnya, langsung vaginanya terpegang. Tak ada celana dalam di balik gaun Tante.

“Sudah bersih, Tante ?”

“Sudah..”

Kuangkat gaun itu sehingga ‘rambut’ yang menggemaskan itu nampak. Aku langsung tegang, berarti siang ini bisa. Aku langsung berdiri meninggalkan makanku, memeluknya.

“Tunggu dulu” kata Tante sambil mendorongku terduduk kembali.

“Kali ini Oommu dulu, ya..” Katanya sambil meninggalkanku masuk ke kamarnya. Kurang ajar! Oom Ton ada di kamar. Seharusnya aku tahu, mobilnya ada di garasi. Tante masih sempat melihatku sambil tersenyum, sebelum ia mengunci kamar.

Aku makin tegang ketika setengah jam kemudian lamat-lamat mendengar suara erangan Tante dari kamar..

Aku masuk kamar, tak tahan di situ.

Tante sudah selesai mens-nya, seharusnya siang ini ia milikku. Tapi Oom Ton merebutnya. Merebut ? Memang Oom Ton pemilik sah.

Aku gagal mencoba berkonsentrasi membaca Fisika, besok ulangan. Bayangan Tante disetubuhi suaminya yang muncul. Ah, sialan..

Setelah mencoba menyadari posisiku, aku jadi agak tenang. Aku ‘kan hanya kemenakannya yang dibantu, lahir dan batin, kenapa musti sewot ? Kelaminku mulai surut.

Tapi itu tak lama.

Tiba-tiba Tante masuk, langsung mengunci pintu kamarku. Disodorkan buah dadanya ke mulutku. Buah itu masih berkeringat, juga wajahnya. Tak peduli. Aku serbu dada itu, masih duduk di kursi belajarku. Kelaminku langsung membesar lagi. Tante dengan tergopoh-gopoh membuka resleting celanaku, mengeluarkan isinya yang sudah keras menjulang. Ia melangkah naik ke pahaku. Mengarahkan kelaminku ke vaginanya, dan….blessss aku langsung masuk…! Gila! Tanpa pemanasan dulu Tante langsung main. Di kursi lagi. Untung aku cepat siap. Jadilah kami ‘berkudaan’ di kursi. Tante semangat sekali nampaknya. Dengan posisi berpangku berhadapan ia di atas, Tante leluasa mengeksplorasi penisku. Aku lebih pasif. Hanya kadang-kadang saja menusuk, soalnya berat, harus mengangkat tubuhnya dengan pinggulku.

Edan! Setengah jam yang lalu aku mendengar Tante mengerang di kamarnya bersama Oom Ton, sekarang ia berkudaan denganku, sementara suaminya (mungkin) sedang pulas di kamar sebelah!

Seakan ia tak ada puasnya. Atau jangan-jangan ia belum puas dengan suaminya lantas melanjutkan di sini ? Hanya Tante yang tahu. Betapa trampilnya ia menggenjot. Vaginanya begitu menjepit dan mengurut penisku, berulang-ulang. Begitu rupa ia menstimulasi kelaminku, membuat aku cepat naik. Geli sekali. Makin cepat dia, makin geli aku. Tiba-tiba tangannya mencekram kepalaku kuat sekali. Tubuhnya bergetar hebat, mengejang. Di dalam sana berdenyut-denyut. Bahuku digigitnya. Getaran tubuhnya makin hebat, lalu mendadak berhenti menggenjot. Mengerang. Tante sedang melayang di puncak..

Akupun hampir sampai. Aku sekarang yang menggenjot. Tante teriak. Vaginanya menjepitku teratur menandakan Tante telah orgasme. Aku tak peduli, sebab aku belum, cuma hampir sampai, terus menggenjot. Tante masih mencekeram erat, secara pasif mengikuti gerakan tusukanku yang naik-turun, lalu…akupun mengejang, melepas. Heran, Tante mengerang lagi, seharusnya aku yang teriak. Tante ikut menikmati ejakulasiku.

Sejurus kemudian kami diam, masih berpelukan, Tante belum mencabut. Hanya nafas kami berdua yang masih berkejaran.

“Tante hebat…” aku membuka percakapan

“Apanya yang hebat, justru kamu yang hebat. Tante tadi ‘kan duluan”

“Ah, kita hampir bersamaan kok tadi”

“Jadi apa maksudmu hebat”

“Tante bisa dua kali berturutan”

“Ooh itu, engga juga sih..”

“Tadi saya mendengar, waktu Tante sama Oom”

“Ah, masa.?”

“Iya, Tante mengerang, saya jadi ngiri.”

“Kan kamu dapat juga”

“Itulah makanya Tante bisa dua kali”

“Kamu juga bisa dua kali, waktu malam itu.”

“Iya, tapi ‘kan ada jarak waktu”

“Sebenarnya Tante tadi cuma sekali”

“Yang benar, Tante. Barusan Tante ‘kan sampai puncak..”

“Iya. Cuma itu. Sama kamu”

“Tadi sama Oom..” aku mulai menyelidik tentan hubungan Oom dan Tanteku ini.

Tante diam saja.

“Kok diam, Tante” aku benar-benar ingin tahu.

“Ini kan masalah Tante dengan Oom-mu, rahasia dong”

“Please, Tante, cerita dong. Tante kan isteri ku juga” buah dadanya kucium, putingnya masih keras.

“Kamu engga usah tahu”

“Ayolah, Tante”

Tante diam lagi agak lama. Lalu….

“Sama Oommu Tante belum sampai …..” Kaget juga aku. Jadi, tak berhasil orgasme dengan suaminya lalu melanjutkan denganku.

“Ah masa, Tante”

“Itulah kenyataannya, To. Oom-mu engga bisa memuaskan Tante”

Mungkin inilah sebabnya, Tante tiap siang tak menolak aku setubuhi, bahkan menikmati.

“Pantesan……”

“Pantesan apa ?” tanya Tante

“Tadi Tante langsung masuk, engga pemanasan dulu”

“Tante tadi senewen, To. Ada rasa menggantung, ada yang harus dituntaskan”

“Untung saya tadi udah siap”

“Sory ya To…”

“Engga apa-apa, Tante. Saya tadi juga puas. Cuma lebih nikmat kalau pemanasan dulu”

“Kamu harus mulai terbiasa begini, To. Seperti yang Tante bilang dulu, Tante butuh kamu. Jangan kaget kalau tiba-tiba Tante pengin. Tante harus mencapai orgasme. Kalau tidak Tante bisa gila..”

“Saya siap, Tante, Betul. Kapanpun Tante butuh saya, silakan saja Tante. Saya juga menikmatinya, Tante. Tanpa pemanasanpun saya engga apa-apa. Tadi saya bilang begitu, itu hanya akan lebih nikmat kalau dengan pemanasan. Kalau tidakpun engga apa-apa”

“Syukurlah, To. Pemanasan gimana yang kamu inginkan, To ?”

“Seperti inilah Tante” jawabku sambil menciumi dadanya.

“Itu kalau kita sempat. Kalau kaya tadi, gimana ?” tanyanya lagi.

“Kan saya siap, Tante”

“Iya sih. Maksud Tante supaya kamu lebih nikmat, kamu perlu pemanasan”

“Yang biasanya kita lakukan sudah dengan pemanasan ‘kan. Cuma tadi saja, yang tidak” jawabku sekenanya. Pertanyaan Tante sulit kujawab.

“Waktu kamu denger Tante sama Oom tadi, kamu gimana”

“Saya terangsang, Tante”

“Okey, Tante ada ide buat pemanasan kamu, To. Tapi ide gila, mungkin”

“Silakan, Tante. Saya senang sekali. Tante kreatif, saya menikmatinya”

‘Jangan kaget, ya. Kamu tahu kamar si Luki ?”

“Tahu Tante” kamar Luki bersebelahan dengan kamar Tante.

“Disitu kan ada pintu yang tembus ke kamar Tante”

“Saya engga perhatikan, Tante”

“Kalau kunci pintu itu Tante cabut, kamu bisa lihat ke kamar Tante dari lubangnya….kamu ngerti apa yang Tante maksud ?”

“Belum, Tante”

“Lubang kunci itu lurus ke tempat tidur..”

Amboi. Berarti, kalau aku mengintip lewat lubang itu, aku bisa lihat kejadian tempat tidur Tante. Hubungannya dengan pemanasan, berarti….hebat, ide yang hebat. Kucium bibir Tante dengan gemas.

“Ide brilian! Setuju banget tante!” kataku gembira.

“Ntar dulu, setuju apa ?”

“Aku akan mengintip Tante sama Oom, sebagai pemanasan”

“Kamu cerdas. Menurut kamu ini gila, engga”

“Engga! Saya mau Tante. Kita coba nanti malam ya.?”

“Semangat banget”

“Pengalaman baru” Aku sangat ingin melihat bagaimana Tante melayani Oom, bagaimana permainan Oom Ton!

Tante diam lagi. Hanya sekejap, lalu.

“To, Tante ingin main sama kamu di tempat terbuka…” kaget lagi aku. Tempat terbuka ? Aneh. Ini sih hebat banget. Aku ingat kemarin, Tante mengulumiku di ruang tengah. Nikmat.

“Ide Tante memang hebat-hebat. Saya suka Tante. Tapi aman engga ?

“Itu masalahnya”

“Kita cari kesempatan, Tante. Pasti nikmat deh”

Tante pelan-pelan bangkit, melepas.

“Eeeeeeeeeehhhhhhhhh” lenguhnya mengiringi pencabutan ini.

Di pintu kamarku Tante nengok kanan-kiri sebelum keluar. Aku ke kamar mandi.

Selesai dari kamar mandi aku lihat kamar Luki, kosong. Luki sedang dibawa pengasuhnya keluar. Pelan-pelan aku masuk, hati-hati pintunya kukunci. Ini dia pintu penghubung tadi. Aku mengintip. Tak melihat apa-apa, kuncinya masih menggantung. Aku kecewa. Kuncinya hanya bisa dicabut dari arah kamar Tante. Ia harus membantuku. Aku mencari Tante, lagi di kamarnya. Lebih baik aku makan dulu sambil menunggu Tante keluar.

Benar, Tante keluar, segar sekali nampaknya.

“Tante, cabut dulu kuncinya, saya mau coba” bisikku. Tante tersenyum, masuk lagi ke kamarnya.

Dari lubang kunci di kamar Luki aku bisa melihat dengan jelas dari arah kaki, Oom sedang tidur pulas, hanya bercelana tidur. Kubayangkan, dari arah bawah ini aku akan bisa lihat kelamin mereka berdua, baik posisi ‘biasa’, Tante di bawah, atau Tante di atas. Kecuali kalau mereka memutar posisi dengan kakinya ke arah bantal, aku hanya bisa melihat kepala mereka, paling-paling dada Tante.

***

Malam itu sekitar pukul 10, aku sudah berada dalam kamar Luki yang sudah pulas. Dari lubang kunci aku lihat mereka sedang membaca. Hanya sekali-sekali mereka bicara. Oom Ton mengenakan pakaian tidur lengkap, Tante memakai daster. Aku menyadari sebenarnya berbahaya aku disini. Bisa saja tiba-tiba Oom membuka pintu ini untuk melihat anaknya. Jadi setiap Oom bangkit, aku harus siap-siap. Kalau Tante sih, aku engga perlu bereaksi. Tegang juga aku.

Ah, ternyata Tante juga berpakaian ‘lengkap’. Sekarang aku bisa dengan jelas melihat celana dalam merah jambu itu, karena Tante mengangkat sebelah kakinya. Kecil kemungkinannya mereka akan main malam ini. Setengah jam aku capek menunggu, Oom mematikan lampu baca, lalu tidur. Kamar itu walaupun hanya diterangi lampu tidur, tapi cukup jelas aku bisa melihat tubuh mereka.

Dengan kecewa aku kembali ke kamar dan tidur….

Esok siangnya, ketika kami baru saja melaksanakan ‘tugas’ nikmat dan masih terlentang berdua tanpa busana, kutanyakan pada Tante tentang semalam aku tak jadi menyaksikan ‘pertunjukan’ Tante dan Oom main.

“Yaa.itulah To, Oom-mu memang jarang meminta, paling dua kali atau bahkan cuma sekali seminggu. Makanya Tante butuh ini” jawabnya sambil mencekal kelaminku.

“Kenapa engga Tante yang minta”

“Ah, Tante ‘kan melayani Oom-mu”

“Tak ada salahnya Tante yang mulai”

“Betul, memang. Tapi, sering Tante malah kecewa. Oom-mu kan hobinya kerja, jadi mungkin capek. Lebih baik Oom-mu yang mulai, itu artinya dia betul-betul butuh”

“Sayang, memiliki badan sebagus ini tak optimal dimanfaatkan” kataku sambil mengelus buah dadanya. Tak bosan-bosannya aku pada buah kembar yang indah ini.

“Sekarang sudah optimal”

“Ya. Dan sayalah yang beruntung”

“Tante juga beruntung punya kamu”

Kamipun berpelukan erat. Kalau sudah begini, aku bisa lupa semuanya. Lupa pada Yuli, Rika, atau mBak Mar.

Aku berguling, jadi menindihnya.

Pahaku mendesak di antara pahanya.

Penisku mencari-cari.

Dan….aku masuk lagi.

“Heeeeh!’ Tante teriak kaget.

Aku mendorong.

“Eeeeeeeehhhhhh” lenguhnya. Sekarang ia tak kaget lagi.

Aku menarik dan mendorong.

Aku menikmati.

Tante juga.

Aku tak ingat bahwa ia tanteku.

Tante lupa bahwa aku kemenakannya.

Bahkan lupa bahwa kami berdua manusia.

Begitu ‘gila’nya kami bermain, kami lebih mirip hewan.

Hewan yang sedang menikmati reproduksi.

Reproduksi bukan untuk mendapatkan keturunan, cuma untuk kenikmatan.

Dan..kenikmatan kami dapatkan secara bersamaan.

Gila! Sesiang ini kami telah dua kali bersetubuh!

Memang edan.

“Edan kamu, To…” komentar sesudahnya.

“Supaya optimal, Tante..” komentarku juga.

Kurasakan bagian dalam vaginanya berdenyut-denyut meremas penisku. Permainan yang melelahkan. Aku jadi lemas, penisku jadi pegal. Pegal-pegal nikmat ….!

Selengkapnya - Enaknya Ngentot Tante Yani